Oleh : @ Sofyan Mohammad
------------------------------------------------------------------------
HARIANMERDEKA.ID|Klaten, Bagi umat Islam Nusantara tentu sudah tidak asing lagi dengan nama Sunan Bayat yang jamak diketahui sebagai salah seorang tokoh legendaris yang berperan dalam penyebaran agama Islam ditanah Jawa khususnya daerah Klaten dan sekitarnya pada era Walisongo atau sekitar abad 15 an.
Sebagaian besar umat Islam Nusantara juga meyakini Sunan Bayat adalah seorang Wali yang keramat sehingga makamnya yang berada di Paseban, Klaten Jawa Tengah sebagai salah satu tujuan wisata ziaroh yang tidak terlewatkan sampai saat ini para peziarah dari berbagai wilayah bukan hanya Klaten namun juga beberapa daerah di Indonesia, bahkan menurut juru kunci makam maka ada peziarah yang datang dari negeri Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam dan beberapa negara lainnya masih sering berdatangan kekomplek makam tersebut.
Membicarakan tentang ihwal Sunan Bayat maka akan menemukan banyak sekali versi yang akan terus berkembang seiring dengan semakin banyaknya sumber informasi dan beragam sudut pandang dari berbagai kalangan karena nampaknya sosok Sunan Bayat berikut segala hal yang menyertainya bagaikan anak sungai yang terus mengalirkan air sebagai sebuah khazanah ilmu pengetahuan.
Sosok Sunan Bayat diyakini sebagai tokoh yang sangat dihormati oleh kalangan masyarakat Jawa karena perannya dahulu sewaktu masih hidup telah meninggalkan jejak peninggalan yang sangat berharga baik berupa legenda nama nama suatu daerah maupun ajaran ajaran luhurnya yang masih tetap lestari hingga kini bahkan juga justru semakin menarik untuk digali lebih lanjut karena segala keteladanan dan ajarannya tersebut masih tetap relevan bahkan justru sangat aktual untuk menjawab segala dinamika kehidupan masyarakat kekinian.
Menelisik sosok Sunan Bayat maka tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Kota Semarang karena dari Semarang lah kisah itu berawal. Sejarah kota Semarang sebagaimana dirilis dpad.jogjaprov. go.id menyebutkan sejarah Kota Semarang berawal kurang lebih pada Abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (Bergota) yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan yang di depannya terdapat gugusan pulau pulau kecil, namun kibat pengendapan maka menjadi daratan.
Pada masa Sultan Fatah sebagai Raja Demak Bintoro (1478- 1518) tersebut nama Pangeran Made Pandan ditempatkan di daerah itu yaitu diperbukitan Pragoto untuk menyebarkan agama Islam dan nampaknya dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asem (asam) yang tumbuh secara jarang jaraknya atau dalam bahasa Jawa disebut "arang" karena hal tersebut maka wilayah tersebut disebut dengan Semarang (Pohon Asam yang jarang)
Setelah daerah tersebut berkembang maka Pangeran Made Pandan sebagai cikal bakal dan pendiri Semarang sekaligus pemimpinya selanjutnya beliau memiliki gelar Ki Ageng Pandan Arang I. Menurut Dr. Purwadi, M.Hum dalam Sejarah Kabupaten Semarang menyebutkan jika wilayah Semarang ditetapkan oleh Demak sebagai Kadipaten adalah pada tanggal 12 Rabiul Awal 927 H atau 15 Maret 1521 dalam tulisan itu juga menyebutkan Ki Ageng Pandhanaran tampil sebagai pemimpin yang waskitha ngerti sakdurunge winarah. Tokoh penting dari Semarang yaitu Kanjeng Ratu Wetan, cucu Pangeran Benowo Pajang. Beliau menjadi garwa prameswari Sinuwun Amangkurat Tegalarum, yang menurunkan Gusti Raden Mas Drajad. Kelak bergelar Sinuwun Paku Buwana I, raja Mataram yang beribukota di Kartasura. Garis keturunan Semarang ini melahirkan raja Jawa, trah kusuma rembesing madu, darah Semarang menurunkan raja raja Jawa.
Faktor historis yang menyebutkan leluhur Ki Ageng Pandanaran masih keturunan Kraton Demak dan Majapahit terkait dengan hal ini ada banyak versi yang menyertainya sebut saja dalam catatan Habib Bahruddin Ba'alawi, tahun 1979, menuliskan nasab Ki Ageng Pandanaran dan atau Sunan Bayat adalah :
1. Nabi Muhammad
2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra
3. Al-Husain
4. Ali Zainal Abidin
5. Muhammad Al-Baqir
6. Ja’far Shadiq
7. Ali Al-Uraidhi
8. Muhammad
9. Isa
10. Ahmad Al-Muhajir
11. Ubaidillah
12. Alwi
13. Muhammad
14. Alwi
15. Ali Khali’ Qasam
16. Muhammad Shahib Mirbath
17. Alwi Ammil Faqih
18. Abdul Malik Azmatkhan
19. Abdillah
20. Ahmad Jalaluddin
21. Jamaluddin Al-Husain
22. Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
23. Maulana Ishak
24. Maulana Islam /Ki Ageng Pandanaran I
25. Sunan Pandanaran II/ Sunan Bayat.
Silsilah Ki Ageng Pandanaran yang dikutip dari Yayasan Sosial yang mengelola makam di Jalan Mugas Dalam II, Nomor 04, RT 07/RW 03, Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang. Didalam makam tersebut ada makam Ki Ageng Pandanaran atau Pangeran Made Pandan, beristri Endang Sejanila atau Nyi Ageng Pandanaran yang posisi bersebelahan disebelah kanannya juga ada makam ayah Ki Ageng Pandanaran yaitu Maulana Ibnu Abdul Salam atau Pangeran Madiyo Pandan.
Dalam catatan itu menyebutkan Ki Ageng Pandanaran dan Nyi Ageng Pandanaran dikaruniai 6 orang anak yaitu :
1. Ki Ageng Pandanaran II atau Sunan Tembayat, makamnya berada di Bayat, Klaten.
2. Ki Ageng Pandanaran III atau Pangeran Mangkubumi, makamnya berada di Imogiri, Bantul.
3. Nyai Ngilir atau Nyai Arang, di makamkan di Mugas Atas Semarang.
4. Pangeran Wotgalih, makamnya berada di Imogiri, Bantul.
5. Pengeran Bojong, makamnya berada di Semarang.
6. Pangeran Sumedi makamkan di Bayat, Klaten.
Menurut juru kunci makam Ki Ageng Pandanaran I menerangkan Ki Ageng Madiyo Pandan, putra Pangeran Sabrang Lor sekaligus cucu Raden Patah. Menurut silsilah, Pangeran Madiyo Pandan adalah anak Pangeran Sabrang Lor, dari cerita dikisahkan Pangeran Madiyo Pandan memilih hidup sebagai seorang sufi dan tidak mau menjadi raja seperti ayahnya, Pangeran Sabrang Lor. Hal ini sesuai pula dalam naskah yang ditulis oleh Raden Hadisapuetro dan sebuah naskah yang dikutip koran Hetnoorden, koran jaman Belanda mengatakan bahwa Pangeran Pandanaran adalah anak Pangeran Madiyo Pandan dan cucu Pangeran Sabrang Lor.
Menurut catatan RE.Suhendar Diponegoro,
rodovid.org menyebutkan Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar Putri dan Ki juru Mertani. Kelanjutan dari catatan tersebut menyebutkan jika Ki Ageng Wanasaba yaitu cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan yaitu putra Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng, menikah dengan Dewi Nawangsih putri dari Ki Jaka Tarub yang menikah dengan Dewi Nawang wulan (epos Jaka Tarub), memiliki putra 3 yaitu Ki Ageng Wanasaba, Ki Ageng Getas Pandawa, dan Nyai Ageng Ngerang/ Roro Kasihan.
Dalam hubungannya dengan berdirinya Mataram Islam, Ki Ageng Wonosobo berputra Pangeran Made Pandan yang dibeberapa literatur yang saya baca merupakan nama lain dari Ki Ageng Pandanaran pendiri Kota Semarang pada era Demak Bintoro. Pangeran Made Pandan berputra Ki Ageng Saba. Ki Ageng Saba ini ada kemiripan dengan Ki Ageng Wonosobo namun tidak jelas apakah keberadaan Ki Ageng Saba ada kaitannya dengan Wonosobo tempo dulu. Selanjutnya, Ki Ageng Sobo mempunyai seorang putri yang menikah dengan Ki Ageng Pemanahan yaitu Nyi Ageng Pemanahan yang merupakan Ibu dari Sutowijoyo atau lebih dikenal dengan Panembahan Senopati ing Alogo Syekh Sayyidina Pranoto Gomo (Panembahan Loring Pasar )pendiri Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede Yogyakarta. Dari Penembahan Senopati ini turunlah trah Ki Ageng Wonosobo menjadi raja-raja Mataram Islam sampai dengan era Kasunan, Ngayogyakrto Hadiningrat, Mangkunegaran dan Pakualaman sekarang ini.
Menurut Budiman, Amen dalam buku Semarang Riwayatmu Dulu menyebutkan Raden Pandanaran adalah putra dari Pati Unus Suryo atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan kedua Kesultanan Demak) yang menolak tahta karena lebih suka memilih mendalami spiritualitas. Dalam tulisan fahmiali- wordpress.com maka antara Sunan Kathong Kaliwungu Kendal dan Ki Ageng Pandanaran I adalah saudara sama sama putera Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, namun beda ibu karena Sunan Pandanaran I merupakan anak dari Ibu Made Pandanaran yang merupakan puteri dari Adipati Urawan di Madiun, sedangkan Sunan Kathong putera dari ibu yang merupakan Puteri dari Bhatara Kathong Ponorogo.
Berbagai versi tentang siksilah tersebut menjadi maklum karena kehidupan para tokoh jaman dulu tidak selalu melakukan pencatatan administratif seperti halnya kehidupan modern serba digital seperti sekarang, namun yang pasti dapat diketahui sekarang adalah Sunan Bayat adalah putra dari Ki Ageng Pandanaran I Bupati pertama Semarang yang dikisahkan beliau dulu sempat menggantikan kedudukannya sebagai Bupati Semarang dengan gelar Ki Ageng Pandanaran II hingga akhirnya mendapatkan pencerahan menjadi seorang ulama yang bermukim di Bayat Klaten hingga akhir hayatnya.
Terkait dengan kisah Ki Ageng Pandanaran II yang dahulu menjadi seorang Bupati Semarang kemudian hijrah hingga menjadi seorang ulama legendaris maka sudah diulas oleh beberapa pihak dan tercatat dalam babad maupun berbagai tulisan karya ilmiah, meski tak dapat dipungkiri juga banyak versi dalam narasi penulisannya. Dalam tulisan ini penulis hanya menghimpun secara ringkas dengan mengambil pokok subtansinya saja.
Dikisahkan jika dahulu Ki Ageng Pandanaran II diangkat menjadi Bupati Semarang pada tanggal 2 Mei 1547 M menggantikan kedudukan ayahandanya Ki Ageng Pandananran I atas hasil perundingan antara Raden Joko Tingkir selaku (penasehat Istana Demak dan belum menjadi Raja di Kasultanan Pajang) dengan Kanjeng Sunan Kalijaga
Setelah menjabat Bupati Semarang maka wilayah kekuasaannya berkembang cukup pesat hingga perkembangan tersebut juga berpengaruh pada kehidupan pribadi Ki Ageng Pandanaran II selaku Bupati, segala kemewahan dunia kala itu sudah dinikmatinya.
Dikisahkan pada awalnya Ki Ageng Pandanaran II dianggap berhasil mengelola wilayah Semarang termasuk dalam hal keagamaan beliau juga aktif melakukan dakwah serta mengembangkan pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah, yang pada pokoknya beliau dianggap telah berhasil memimpin Semarang dengan baik sesuai ajaran-ajaran Islam seperti mendiang ayahnya, sehingga rakyatnya pun hidup makmur dan damai.
Namun menjadi keniscayaan bagi sifat manusia dapat saja berubah setiap saat, demikian pula Ki Ageng Pandanaran II sebagai seorang manusia dalam perjalanannya atas segala keberhasilan yang telah dicapai telah menyeretnya pada sifat manusiawi yang lupa diri, congkak, sombong dan kikir yang dikisahkan sifat beliau berubah menjadi senang mengumpulkan harta untuk kemewahan yang nampaknya kehidupan mewah itu telah membuatnya lalai terhadap tugas-tugasnya, baik sebagai kepala pemerintahan maupun selaku pengembang agama Islam, sehingga beliau tidak pernah lagi memberikan pengajian dan ceramah kepada rakyatnya, demikian pula beliau tidak lagi mengembangkan pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah sebagai media dakwah.
Mengetahui perubahan sikap dan perilaku Ki Ageng Pandanaran II tersebut maka Kanjeng Sunan Kalijaga segera memperingatkannya dengan cara menyamar sebagai penjual rumput yang setiap kali datang untuk menawarkan rumputnya maka Kanjeng Sunan selalu menyisipkan nasehat nasehat kepada sang Bupati yang diceritakan pada suatu hari Kanjeng Sunan Kalijaga datang ke kediaman Ki Ageng Pandanaran II dengan mengenakan pakaian compang-camping layaknya seorang tukang rumput beneran, disela-sela menawarkan rumputnya, Kanjeng Sunan menasehati Ki Ageng Pandanaran II agar tidak terlena oleh kemewahan dunia, namun yang terjadi justru Sang Bupati tersinggung dan marah marah dan menghardik pada si penjual rumput tersebut dengan kata kata kasar yang mencerminkan kesombongan bahkan hingga mengusirnya.
Kanjeng Sunan Kalijogo telaten memperingatkan Ki Ageng Pandanaran II sebab guru dan wali suci ing tanah Jawi ini secara kasyaf mengetahui jika Ki Ageng Pandanaran "dedeg" belangga jiwanya lahir bahtin mampu menampung keluhuran budi sebagai seorang salik untuk menjadi kekasih Allah SWT yang akan diabadikan namanya dibumi dan dilangit yang kekal abadi, sehingga sangat disayangkan jika beliau hanya menjadi seorang Bupati Semarang saja yang kemudian jasa atas jabatannya tersebut hanya dikenang secara singkat di dunia bahkan mungkin justru menjadi beban bagi kehidupan sejati di akhirat, karena hal tersebut Kanjeng Sunan Kalijogo berikhtiar mengingatkan secara Istiqomah dan dengan kebijaksanaan menyelamatkan Ki Ageng Pandanaran II dari tipu daya dunia.
Kanjeng Sunan Kalijogo masih terus istiqomah dan masih menyamar sebagai tukang ngarit atau penjual rumput tidak bosan-bosannya selalu datang menasehatinya, namun setiap kali dinasehati, Ki Ageng Pandanaran tetap saja tidak menghiraukan nasehat itu dan hawatir perilaku penguasa daerah Semarang itu semakin menjadi-jadi maka Kanjeng Sunan Kalijaga menunjukkan karomahnya.
“Wahai Bupati yang angkuh dan sombong! Ketahuilah, harta yang kamu miliki tidak ada artinya dibandingkan dengan harta yang aku miliki,” kata tukang ngarit itu.
“Hai, tukang ngarit! kamu jangan mengada-ada! Buktikan kepadaku jika kamu memang orang kaya!” seru Ki Ageng Pandanaran II
Akhirnya Kanjeng Sunan Kalijaga menunjukkan karomahnya dengan mencangkul sebidang tanah yang setiap bongkahan tanah yang dicangkul dapat berubah menjadi bongkahan emas, Ki Ageng Pandanaran II sungguh heran menyaksikan kesaktian penjual rumput itu, merasa tertampar kesombongannya waktu dan dalam hatinya berkata bahwa tukang ngarit rumput itu pastilah bukan orang sembarangan.
”Hai, tukang ngarit! Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ki Ageng Pandanaran II penasaran bercampur rasa cemas dan takut, akhirnya Kanjeng Sunan Kalijogo membuka penyamarannya, demi hal itu maka betapa terkejutnya Ki Ageng Ki Ageng Pandanaran II ketika mengetahui bahwa orang yang di hadapannya adalah Kanjeng Sunan Kalijaga seorang Wali dan Guru Suci Ing Tanah Jawi, seketika itu pula maka Ki Ageng Pandanaran langsung bersujud tubuhnya gemetaran seraya bertaubat dengan menyampaikan permohonan maaf dengan menyampaikan,
“Maafkan, saya Kanjeng Sunan! Saya sangat menyesal atas semua kekhilafan saya selama ini. Jika Kanjeng Sunan tidak keberatan, izinkanlah saya berguru kepada Kanjeng Sunan!” pinta Ki Ageng Pandanaran II.
“Baiklah, Ki Ageng! Jika kamu benar-benar mau bertaubat, saya bersedia menerimamu menjadi murdiku. Besok pagi-pagi, datanglah ke Gunung Jabalkat! Saya akan menunggumu di sana. Tapi ingat, jangan sekali-kali membawa harta benda sedikit pun!” ujar Kanjeg Sunan Kalijaga mengingatkan seraya pergi meninggalkan rumah itu
Pada pagi harinya Ki Ageng Pandanaran II telah bertekad bulat bertaubat dan akan memenuhi janjinya menemui Kanjeng Sunan Kalijogo hingga tepatnya pada pada saat itu tahun 1512 Ki Ageng Pandanaran II menyerahkan kekuasaan kepada adiknya, yaitu Pangeran Mangkubumi yang setelah menjabat Bupati Semarang bergelar Ki Ageng Pandanaran II.
Setelah menyerahkan jabatan Bupati maka Ki Ageng Pandanaran II pada pagi itu pula langsung pergi meninggalkan segala benda keduniawianya untuk melakukan uzlah dengan hijrah sehijrahnya dengan melakukan perjalanan Ke Gunung Jabalkat, bukan hanya hijrah pakaian dan jambangnya saja.
Sebelum keluar rumah maka Ki Ageng Pandanaran II telah berpamitan dengan kedua istrinya yang di kisahkan baru melangkah beberapa meter, Ki Ageng menoleh kebelakang ternyata istrinya yaitu Nyai Ageng Kaliwungu sudah mengikutinya dengan membawa tongkat yang berisi dengan emas dan berlian sebenarnya hal itu sudah diketahui oleh Ki Ageng Pandanaran II tetapi sengaja tidak diingatkan.
Dalam perjalanan ke Jabalkat Ki Ageng Pandanaran selalu berjalan didepan istrinya meninggalkan kedua istrinya yang jauh di belakang, dikisahkan ditengah perjalanan tepatnya di selatan sekitar 50 kilo meter dari Semarang Ki Ageng Padanaran II dicegat oleh 2 orang perampok. Kedua perampok itu menyuruh Kyai Ageng untuk menyerahkan hartanya, namun Kyai Ageng menyampaikan tidak membawa apa-apa dan menyuruh perampok itu jika ingin harta silahkan untuk mengambil tongkat yang di bawa wanita dibelakang yang membawa tongkat yang didalamnya terdapat emas dan berlian dan berpesan jangan sekali-kali kalian mencelakainya karena dia istriku, ambil saja tongkatnya dan segeralah pergi jangan lagi menggangu.
Tak lama kemudian lewatlah Nyai Ageng Kaliwungu dengan membawa tongkat dan perampok perampok itu langsung merebut tongkat tersebut, menangislah Nyai Ageng sambil berlari menyusul Ki Ageng sedangkan istri yang satunya kembali pulang ke Semarang.
Dikisahkan karena sifat perampok itu serakah mereka merasa belum puas dengan hasil rampasannya, hingha para perampok itu meminta bekal yang di bawa Ki Ageng bahkan mengancam kalau tidak di beri akan membunuhnya, kemudian Ki Ageng berkata “Wong salah kok iseh tega temen (orang sudah salah kok masih tega).
Kalimat yang disampaikan oleh Ki Ageng Pandanaran "salah tega" itu semacam sabdo yang dkemudian diikuti dengan kalimat "suatu saat tempat ini ramai maka akan disebut sebagai daerah Solotigo" dan benar hingga sampai sekarang tempat insiden perampokan tersebut menjadi nama kota yaitu Salatiga.
Selesai mengucapkan kalimat itu kemudian Ki Ageng Pandanaran II kembali mengucapkan kata sabdo “keterlaluan kau ini, tindakanmu mengendus seperti domba saja” kata kata itu semacam doa serapah idhu dadi geni (ludah menjadi api) karena seketika itu pula tiba tiba kepala dari salah satu perampok yang kemudian diketahui bernama Ki Sambang Dalan berubah menjadi kepala domba (wedus) sedangkan perampok yang satunya lagi melihat kawannya kepalanya menjadi domba maka dia ketakutan hingga ngewel gemetaran sambil rebahan hingga kepalanya tiba tiba juga berubah menjadi kepala ular. Kedua Perampok menyadari kepalanya telah berubah satu jadi kepala domba yang satu berubah menjadi kepala ular maka kedua perampok itu menangis sejadi jadinya karena menyesal atas segala perbuatannya lantas keduanya menyatakan berjanji akan mengabdi pada Ki Ageng Pandanaran II dan akan mengikuti mengikuti Ki Ageng untuk pergi ke Jabalkat yang selanjutnya diriwayatakan kedua perampok tersebut menjadi penderek setia/ pengikut Ki Ageng Pandanaran II yang kelak dikenal dengan sebutan Syeh Domba dan Syeh Kewel.
Perjalanan dilanjutkan Ki Ageng Pandanaran II tetap berjalan lebih cepat sedangkan Nyai Ageng sudah kelelahan sehingga tetap ditinggal jauh dibelakang hingga sampailah di suatu hutan ditengah kelelahan tersebut Nyai Ageng berkata “Ojo lali ingsun, aku ojo ditinggal terus” (jangan lupa kamu, istrimu jangan ditinggal terus), sebagai pengingat maka didaerah Nyai Ageng Kaliwungu menyampaikan kata kata tersebut maka tempat tersebut diberi nama Boyolali yang pada saat ini menjadi ibu kota Kabupaten Boyolali Jawa Tengah.
Perjalanan mereka telah sampai di sebuah desa yang tidak jauh dari tujuannya dan rombongan Ki Ageng melihat ada seorang pedagang perempuan tua yang membawa beras, kemudian Ki Ageng berkata “Tunggu sebentar Nyai, kami hanya ingin bertanya dimanakah Jabalkat itu?”. Perempuan itu menjawab dengan menunjukan arah perbukitan, kemudian Ki Ageng bertanya lagi “Apakah yang Nyai bawa itu?”. Karena takut akan dirampok perempuan itu berbohong dan menjawab bahwa yang dibawanya adalah wedi (pasir), setelah rombongan Ki Ageng berlalu perempuan tadi merasa beras yang di gendongnya semakin berat, begitu di buka ternyata beras yang dibawanya tadi berubah menjadi wedi (pasir). Perempuan itu menyesal karena sudah berbohong dan wedi dalam karung dibuang tempat wedi tersebut dibuang sebagai pengingat maka oleh orang orang yang mendengar kejadian itu lantas tempat tersebut diberi nama Wedi yang sekarang menjadi nama ibukota kecamatan Wedi Kabupaten Klaten.
Sebelum sampai di puncak gunung Jabalkat maka Ki Ageng Pandanaran dan istrinya menginap beberapa hari di rumah salah satu penduduk penjual makanan srabi yang bernama Nyai Tasik yang terkenal galak, ketus dan kikir kepada Nyai Tasik Ki Ageng Pandanaran mengaku bernama Slamet yang dikisahkan Ki Ageng Pandanaran ikut membantu berjualan srabi yang membuat dagangan srabi Nyai Tasik laris manis, sampai-sampai banyak orang rela berjam-jam antri untuk membeli srabi buatan Nyai Tasik.
Suatu hari Nyai Tasik menyuruh Slamet untuk mencari kayu bakar di hutan karena persediaan kayu bakar sudah habis, namun anehnya Slamet tidak mencari kayu bakar tetapi srabi tetap matang dan Nyai Tasik menjadi heran hingga kedapur untuk melihat ternyata tangan Slamet di masukkan ke dalam tungku untuk memasak srabi, alangkah terkejutnya Nyai Tasik mengetahui hal itu hingga menjadi takut gemetaran karena mengetahui jika Slamet yang selama ini disepelekan ternyata bukan orang sembarangan. Dengan kejadian itu Ki Ageng Pandanaran II memberi tahu Nyai Tasik siapa dirinya dan Nyai Tasik pun menyatakan bertaubat dan akan mengikuti ajaran Kyai Ageng, yang kelak NYI Tasik tersebut dikenal sebagai salah satu murid yang linuwih dengan julukan Nyai Ageng Tasik. setelah kejadian itu maka Ki Ageng Pandanaran Ii pamit untuk melanjutkan perjalananya
Dikisahkan dalam perjalanan tersebut Ki Ageng Pandanaran II sampai disebuah pemukimam karena merasa haus Ki Ageng meminta ketimun pada seorang petani, namun petani itu berkata bahwa ketimunnya belum berbuah padahal Ki Ageng tahu bahwa ketimunnya sudah berbuah satu, lalu Ki Ageng Pandan Aran berkata “Iki wes jiwoh” (jiwoh=siji awoh), maka sebagai pengingat tempat itu sekarang menjadi nama desa Jiwo, terletak di sebelah barat Gunung Jabalkat.
Setelah Ki Ageng Pandanaran meninggalkan desa Jiwo, baru beberapa meter berjalan sudah sampai di kaki Gunung Jabalkat. Kemudian dengan segera mendaki gunung tersebut, setelah sampai di puncak Gunung Jabalkat Ki Ageng terdiam lama sambil meminta petunjuk Allah SWT dan sesaat kemudian dari kejauhan terlihat sosok yang menggunakan pakaian adat jawa berbaju sorjan lurik dan menggunakan udeng iket yang tampak berwibawa menghampiri rombongan Ki Ageng Pandanaran.
Ki Ageng Pandanaran segera melaporkan segala kejadian kejadian suka duka didalam perjalanan termasuk kejadian aneh yang menimpa Ki Sambang Dalan beserta satu rekannya, lantas Kanjeng Kanjeng Sunan Kalijogo berujar " lelakune wong urip tanpo Ilmu iku pado dene karo khayawan, lelakune wong urip amargo nuntut Ilmu iku podo karo duweni derajad Kamanungsan " "Orang hidup tanpa ilmu itu sama seperti hewan, orang hidup menuntut ilmu itu sama juga mempunyai derajad kemanusiaan " ucapan itu di tujukan kepada Ki Sambang Dalan dan rekanya.
Mulai saat itu Kyai Ageng Pandanaran tinggal di Jabalkat dan merasa mendapat perintah untuk menyiarkan agama islam, lalu Ki Ageng mendirikan masjid di puncak Gunung Jabalkat daan setiap hari Jumat Legi ada sarasehan, dengan adanya pengajian ini masyarakat sekitar mengenalnya dengan sebutan Kyai Ageng Pandanaran yang berarti orang yang memberi pepadang atau penerangan dan tempat untuk berkumpul diberi nama Paseban, sampai dengan sekarang tempat itu menjadi Desa Paseban.
Dalam perjalanan uzlahnya dari urusan duniawi beliau mengajarkan ilmu agama dengan metode patembayatan yang mempunyai makna kurang lebih musyawaroh. Karena sistim mengajinya dengan metode tersebut oleh Kanjeng Sunan Kalijaga beliau mendapat sebutan Sunan Bayat dan daerah padhepokannya terkenal dengan daerah Bayat yang sekarang menjadi ibukota Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten
Menurut berbagai sumber maka Ki Ageng Sunan Pandanaran II wafat pada tahun 1537 dengan meninggalkan para murid yang terkenal diantaranya Syeh Dombo, Syeh Kewel, Ki Ageng Gribig, Nyai Ageng Tasik, Kyai Sabuk Janur, Kyai Sekar Dlimo, Ki Ageng Semilir, Ki Ageng Majasto, Kyai Kali Datuk, Ki Ageng Konang serta masih banyak yang lainnya.
Ki Ageng Sunan Pandanaran II atau Sunan Bayat merupakan wali penutup atau terakhir dalam kumpulan dewan dakwah Wali Sanga ditanah Jawa yang dikisahkan penunjukan Sunan Bayat menjadi anggota Walisongo yaitu dalam suatu sidang Dewan Walisongo di Masjid Agung Demak untuk menggantikan Syekh Siti Jenar yang mendapat hukuman pati karena mengajar ajaran Wahdatul Wujud kepada khalayak umum. Usulan tersebut datang Sunan Kalijaga yang kemudian disetujui semua anggota Walisongo.
Pujangga Besar Raden Ngabehi Ranggawarsito dalam Kitab Wirid Hidayat Djati juga menyebutkan Sunan Tembayat termasuk anggota delapan Waliyullah yang diberi kewenangan mengajar wirid dan pelajaran ilmu kesempurnaan (tasawuf) untuk angkatan kedua dan ketiga pada era akhir kerajaan Demak sampai awal kerajaan Pajang. Pada angkatan kedua, delapan Waliyullah terdiri dari Sunan Giri Parapen, Sunan Derajat, Sunan Ngatasangin, Sunan Kalijaga, Sunan Tembayat, Sunan Kalinyamat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kajenar. Sementara pada angkatan ketiga, delapan Waliyullah adalah Sunan Parapen, Sunan Derajat, Sunan Ngatasangin, Sunan Kalijaga, Sunan Tembayat, Sunan Padusan, Sunan Kudus, Sunan Geseng.
Sunan Tembayat pada angkatan kedua dan ketiga mendapat tugas dari gurunya yaitu Sunan Kalijaga, memberikan wejangan mengenai susunan dalam singgasana Baitul Muharam.
Kebesaran dan kekeramatan Sunan Bayat tidak hanya diakui kalangan masyarakat biasa, tapi juga oleh para pejabat kabupaten, provinsi, bahkan sampai pusat, terlebih bagi para pejabat Walikota atau Bupati Semarang dan Boyolali mereka selalu mengadakan ziarah ke makam Sunan Bayat secara rutin setiap tahun sebagai rangkaian memperingati hari jadi Kota Semarang, Salatiga dan Boyolali karena Sunan Bayat dianggap sebagai pendiri dari pada daerah tersebut, bahkan kalangan keraton, mulai Pajang sampai Mataram sangat menghormati Makam Sunan Tembayat.
Kebesaran Sunan Bayat sebagai Waliyullah yang keramat dapat ditemukan dalam buku Awal Kebangkitan Mataram karya HJ. De Graaf. Dikisahkan, sehabis kalah perang dengan pasukan Mataram di Prambanan, Sultan Hadiwijaya Pajang beserta pasukan yang tersisa mundur melewati Bayat dan Sultan Hadiwijaya berkeinginan berziarah ke Sunan Bayat, tetapi ternyata pintu makam tidak bisa dibuka oleh juru kunci maka, mengetahui hal tersebut Sultan Hadiwijaya mengetahui isyarat bahwa wahyu keraton sudah berpindah, tidak lagi berpihak padanya.
Sebagai penghormatan Sultan Hadiwijaya pada tahun 1566 membangun makam beliau dan pada tahun 1633 diperluas oleh Sultan Agung dan diberikan ajaran-ajaran yang tersirat dari tata cara dalam melaksanakan ritual ziarah dan bentuk bangunan yang ada di makam Ki Ageng Sunan Pandanaran.
Makam Sunan Bayat terletak diperbukitan yang disebut Cokro Kembang yang saat ini masuk dalam wilayah Desa Paseban kecamatan Bayat Kabupaten Klaten, sekitar 12 km sebelah selatan ibukota Kabupaten Klaten yang dapat ditempuh melalui dengan menggunakan transpotasi umum dan sangat terjangkau.
Komplek makam Ki Ageng Pandanan II atau Sunan Bayat di puncak bukit Cokro Kembang persisnya terletak di sebelah timur Gunung Jabalkat. Diarea makam tersebut banyak sekali bangunan yang merupakan petilasan atau peninggalan beliau yang kesemuanya berupa sanepo/ isyaroh tentang ilmu luhur yang beliau ajarkan sewaktu masih hidup.
Bangunan peninggalan beliau yang menyimpan ajaran ilmu luhur yaitu :
1. Sunan Bayat atau Ki Ageng Pandanaran sewaktu masih hidup pada awal awal sampai di gunung Jabalkat beliau mendirikan masjid di puncak Gunung Jabalkat, masjid tersebut selain untuk ibadah dan syiar Agama maka diriwayatkan masjid tersebut juga sebagai tempat bermusyawarah para Wali Songo ketika membahas segala sesuatu selain Masjid Agung Demak.
Diceritakan jika masjid tersebut dulu sewaktu adzan subuh hingga terdengar sampai di Kota Raja Demak Bintoro bahkan ada cerita yang menyebutkan sampai pula di Mekah Al Mukaromah hingga Raden Fatah memerintahkan prajuritnya agar memperingatkan Sunan Bayat untuk menurunkan masjid tersebut, namun sebelum utusan dari Demak sampai di Jabalkat, Sunan Bayat sudah mengetahuinya dan akhirnya dalam semalam masjid itu sudah berada di lereng gunung Jabalkat, karenanya masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Masjid Tiban.
Masjid tiban tersebut selanjutnya oleh Sunan Bayat diberi nama Masjid Golo yang merupakan sanepo/ isyaroh yang dapat ditasriyahi yaitu
Syare’at Golo, Go=1 Lo=7 (angka jawa), artinya 17 rekaat sholat sehari semalam, maksudnya yaitu agar manusia melaksankan sholat sehari semalam berjumlah 17 rakaat, yaitu Isak 4 rakaat, Shubuh 2 rakaat, Dhuhur 4 rakaat, Ashar 4 rakaat, dan Magrib 3 rakaat. Alasan lain penyebab di turunkannya masjid Golo adalah agar masyarakat lebih mudah jika ingin ke masjid untuk melaksanakan sholat.
Luas masjid Golo sekitar 12x12 m yang saat ini masjid tersebut termasuk masjid purbakala atau cagar budaya. Arsitektur masjid Golo bercorak Hindu yang dapat terlihat dari pintu masuk masjid dan dari empat pilar utama yang berupa stupa (Budha), tempat imam diberi pintu dan karpet yang digunakan imam, yang terletak paling depan adalah kloso (tikar) (artinya kloso = ngen nelongso).
Makna lain dari nama Golo yaitu Golo terdiri dari dua huruf Jawa Go dan Lo, huruf Go adalah angka 1 dalam angka Jawa dan Lo adalah angka 7, yen sliramu pingin dadi manungsa kang sampurno nyuwuno pituduh, pitutur, pitulungan marang Dzat kang Tunggal kanthi nindakno 17 dawuh e (kalau kamu ingin menjadi manusia yang sempurna mintalah petunjuk, nasehat dan pertolongan kepada Dzat yang Maha Esa dengan melaksanakan 17 perintah-Nya/ Sholat 17 rokaat).
Adapun puncak ajaran dari syareat golo ini terlukis dari penamaan puncak Jabalkat karena Jabalkat dari kata Jabal Uhud yang merupakan bahasa Arab Jabal berarti gunung, uhud merupakan kata ganti dari Ahad yang berarti Esa. Artinya Gunung Keesaan (puncak dari tauhid), apabila kita bisa benar-benar melaksanakan sholat wajib 17 rokaat sehari.
Dikisahkan dahulu Sunan Bayat bersama santri- santrinya di masjid Golo ada santri namanya Syeh Bela-belu (Raden Djoko Dhandhun) yang dikisahkan juga trah Bre Kertabumi atau Prabu Brawijaya V yang selalu berdoa agar segala keinginannya dikabulkan dengan cara beliau tidak pernah tidur, jika mengantuk ia makan dan makanan yang di makannya adalah intip (kerak nasi), karena hal tersebut maka intip ini sangat terkenal di daerah sekitar makam.
Selain dari Masjid Golo maka peninggalan Sunan Bayat yang merupakan isyarat ajaran luhur adalah susunan anak tangga sekitar yang berjumlah sekitar 250 anak tangga yang harus dinaiki untuk sampai puncak di gerbang masuk bangsal peristirahatan menuju makam.
Di area makam makam berdiri pula berbagai bagunan cagar budaya yang berupa berupa beberapa gapura yaitu :
1. Gapura Dhuha adalah gapura yang di lewati ketika para peziarah selesai setelah gerbang masuk bangsal peristirahatan.
2. Gapura Segara Muncar yang merupakan gapura pertama yang menjadi pintu masuk halaman atau komplek makam
3.Gapura Pangrantungan yang terletak didalam kompleks makam yang didalamnya terdapat halaman yang memiliki dua bangsal yaitu bangsal Nglebet, sebagai tempat peristirahatan dan untuk menerima tamu wanita, yang satunya bangsal Jawi sebagai tempat peristirahatan dan untuk menerima tamu pria, diantara tempat itu terdapat tempat untuk menerima tamu yang berziarah.
Gapura Pangrantungan terdapat di sebelah masjid, setelah melewati Gapura Pangrantungan maka kita akan memasuki gerbang masuk kompleks makam para sahabat Sunan Pandanaran
4. Gapura Panemut dalam bangunan gapura ini tertera tulisan atau prasasti yang bunyinya “Wisaya Hanata Wisking Ratu” sangkala yang menunjukkan tahun pembuatan, artinya Wisaya = 5, Hanata = 5, Wisik = 5, Ratu = 1. Ini berarti gapura ini didirikan tahun 1555 Saka.
5. Gapura Pamuncar
6. Gapura Balekencur
7. Gapura Prabayeksa
Gapura ini merupakan gapura terakhir sebelum ke makam inti Sunan Pandanaran.
Sekian bangunan Gapura maka berdiri pula bangunan yang disebut Regol Sinogo yang biasanya para peziarah setelah melewati Regol Sinaga maka akan melewati Regol Sinogo.
Di dalam kompleks makam ini terdapat gentong yang bernama Gentong Sinaga yang diceritakan dulu gentong inilah yang di isi oleh murid Sunan Pandanaran Syeh Domba dan Syeh Kewel untuk air wudhu.
Letak makam Sunan Pandanaran berada diantara makam istri dan kerabatnya, yaitu makam Nyai Ageng Madalem, Pangeran Winang, Kyai Kali Datuk, Kyai Sabuk Janur, Kyai Banyubiru, Kyai Mlanggati, Kyai Panembahan Sumingit Wetan, Kyai Panembahan Masjid Wetan dan Panembahan Kabul.
Makam Sunan Pandanaran sendiri berada didalam bangunan tajuk persegi panjang seukuran 2,5 x 2,5 m berdinding papan kayu jati untuk jirat nisan makam terbuat dari batu andesit berukir yang dibungkus dengan hijab kain putih bersih yang menjuntai sebagai ornamen yang menawan dengan semerbak harum berbagai wewangian daun bunga yang ditempatkan pada cawan kuno terbuat dari tembaga. Ornamen, aksesoris dan interior dalam tajuk pusara makam jelas menunjukan maka seorang wali agung yang sangat keramat.
Komplek bangunan makam Sunan Pandaranan adalah lenskap bangunan yang sangat artistik modifikasi dari bangunan candi lengkap dengan gapura yang penuh dengan ukiran.
Memasuki komplek makam Sunan Bayat sejatinya adalah makanan rohani karena secara tidak langsung akan memperolah tasriyah dari lenskap bangunan yang mengajarkan ilmu ketauhidan yang sangat mendalam, namun bagi yang tidak paham atau sudah terlanjur berpola pikir yang skeptis maka ritual dan lenskap bangunan yang ada di makam tersebut hanya dianggap sebagai ornamen tradisi Hindu - Kejawen atau bahkan dituding sebagai ritual klenik kasepuhan yang syirik dan bid'ah (bagi yang belum tutug ilmunya namun merasa paling bisa)
Pengetahuan rohani yang dapat diperoleh para peziarah adalah ketika mampu menangkap isyaroh dari bentuk bangunan anak tangga yang dibuat berkelok-kelok, gapura dengan jumlah 11, balai paseban, genthong Sinaga, gedhong inten (Puncak Makam dimana Sunan Pandanaran dimakamkan).
Dalam melakukan ziarah ke makam Sunan Bayat maka selain tawasul dan tahlil sebagaimana umumnya umat muslimin Nusantara maka ada beberapa ritual lain yang merupakan refleksi ritualitas diri atas ajaran luhur Sunan Bayat misalnya para peziarah sebaiknya membawa bunga, mengitung jumlah tangga naik-turun harus sama, ziarah ke makam kijing wilangan, ketika pulang dianjurkan untuk membawa bunga Kanthil, intip (kerak nasi) dan pisang kepok.
Untuk sampai pada makam maka peziarah harus mendaki bukit Cokro Kembang dengan cara mendaki trap anak tangga yang berkelok memanjang dengan cara menghitung pada saat naik maupun pada saat turun, hal ini dapat dimaknai jika anak tangga adalah salah satu alat untuk memanjat bangunan yang tinggi, sedangkan arwah ketika dicabut diistilahkan dengan diangkatnya roh, orang yang telah meninggal tentu akan mengahadapi hari perhitungan. Pada hari itu banyak orang yang sangat menyesal karena, lalai dengan peringatan yang telah didengarnya, untuk itu sebelum datang hari perhitungan alangkah baiknya apabila kita mau menghitung apa yang telah kita perbuat, jika hari ini kita melakukan kesalahan cepat-cepat melakukan tobat, mohon ampun kepada Dzat Yang Maha Pengapun dan Maha Penghitung.
Tujuan dari ziarah kubur pada hakekatnya adalah salah satu sarana belajar untuk mengingat-ingat bahwa kitapun akan dikubur/meninggal, setelah meninggal apa yang harus kita bawa ? hal ini dapat kita lihat dalam QS. Al-Kahfi ayat : 45-46 yang terjemahan bebasnya kurang lebih :”Dan berilah perumpamaan kepada mereka(manusia), kehidupan dunia adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka tumbuh-tumbuhan menjadi subur karenanya di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Dari ayat di atas sangatlah jelas apa yang mesti kita bawa ketika menghadap kepada Dzat yang telah menciptakan dan yang akan menanyakan pertanggung jawaban kita takala hidup di dunia ini. Bahkan harta dan anak-anakpun wajib kita pertanggung jawabkan kepada Allah SWT, besok pada hari pembalasan.
Ziarah dimakam Ki Ageng Sunan Pandanaran dianjurkan untuk membawa bunga Mawar, Kenanga, Kanthil, Melati, layaknya orang yang akan melakukan sesajen yang mana setelah berdo’a dan menabur bunga di dalam makam induk kita dianjurkan untuk mencari bunga yang telah kita sebar di atas makam dan bunga yang kita cari adalah bunga kanthil.
Mencari bunga kanthil di makam Ki Ageng Pandan Aran mempunyai pengertian hendaklah kita pelajari apa yang telah ditinggalkan oleh almarhum, dan kita masukan dalam lubuk hati sedalam-dalamnya agar benar-benar kemanthil-manthil. Dan menjadi salah satu amalan kita.
Maksud dari ritual tersebut, setelah kita mempunyai bekal/bunga kehidupan yang kita tebar di atas dunia ini seyogyanya kita mempunyai satu amalan yang perlu kita istiqomahkan selanjutnya makna lainnya adalah tujuan dari membawakan bunga menurut orang-orang yang mempercayai bahwa arwah setelah meninggal masih berhubungan dengan keluarga yang masih hidup oleh sebab itu merekapun membawakan kiriman berupa bunga dan bagi umat muslimin yang menganut faham ahlussunnah juga mempunyai kepercayaan bahwa orang yang telah meninggal masih bisa menerima kiriman do’a, amal perbuatan baik berupa shodaqoh, haji dan amal-amal lainnya. Sedangkan bunga dari kiriman itu bila kita maknai akan berbunyi : Mawarno-warno kaindahaning tindak-tanduke mayit kenengno lan kanthilno ing ati lan tindakno sakbisa-bisamu supoyo ora malati (berbagai macam kebaikan /jasa almarhum masukan dalam hatimu agar menghujam sampai dalam, kenang dan catat dalam hatimu lan laksanakan sekuat- kuatmu agar kamu tidak mendapat bilahi/tuah).
Dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa bekal kita untuk menghadapi kematian adalah bunga kehidupan/amal perbuatan kita semasa hidup. Bunga kehidupan haruslah berdasarkan tuntunan syari’at yang dibawa oleh Junjungan kita Nabi Muhammad SAW, ke bawah sampai dengan ulama-ulama sekarang karena kita sudah tidak bertemu langsung dengan junjungan kita Nabi Muhammad SAW sehingga apabila kita ingat bahwa apa yang akan menjadi bekal ketika kita naik/meninggal tentu kita akan banyak mendekat pada para ulama untuk mendapatkan petunjuk menghadapi kematian dan agar kita tidak salah membawa bekal menghadap kepada Sang Khaliq.
Setelah selesai ziarah dipusara maka Sunan Bayat (Gedong inten)
maka di luar bangunan sebelah barat ada nisan pusara diantara tembok pagar makam yang terdapat pemandangan yang menakjubkan karena kita berada diatas puncak bukit. Disitu ada pusara makam salah satunya makam Ki Ageng Sebata yang menjadi satu komplek dengan makam Ki Ageng Dampo Awang, kedua makam ini dipercaya oleh masyarakat umum bahwa masing masing mempunyai kekeramatan sendiri-sendiri.
Para peziarah biasanya melakukan ritual mengitung batu-bata dan mengukur makam tersebut (ndepani makam) ritual ini disebut dengan filsa kijing wilangan atas makam Ki Ageng Sebata yang dipercaya apabila kita bisa menghitung jumlah batu bata yang menjadi kijingnya, berulang-ulang dan jumlahnya selalu sama, maka maksud kita bakal tercapai.
Isyaroh dari hal ini adalah kata Sebata sepadan (istilah sekarang plesetan) dengan kata sepata dalam bahasa Indonesia berarti Sumpah. Sebagai umat Islam kita tentu ingat dalam al-Qur’an surat Al A’raaf ayat 172-174 Allah SWT. telah berfirman yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikan itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan), atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”. Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).
Sanepo tentang ajaran luhur juga bisa kita petik dari ritual ini yaitu agar orang bisa mengitung sumpahnya itu yang selaraskah dengan hati dan perbuatannya, jika lisan, hati dan perbuatan selalu selaras maka akan beruntunglah kita sebagai manusia.
Makam ki Ageng Dampo Awang dipercaya apabila kita akan menjadi mulia apabila kita bisa depani (mengembangkan lengan tangan selebar-lebarnya) dan bisa sampai antara maesan di kepala dan kaki, maka akan cepat terkabul apa yang menjadi cita-cita kita, terkait dengan ini maka perlu kita ketahui bahwa ki Dampo Awang adalah salah satu orang kepercayaan Ki Ageng Sunan Pandanaran yang berasal dari negeri seberang (Cina). Kita sebagai orang Jawa yang awam tentu sangat asing dengan ajaran Islam yang menggunakan bahasa Arab, namun apabila kita mau berusaha untuk menghembangkan dada dan mau depani mengukur dengan cara belajar yang sungguh sungguh maka akan tercapailah apa yang kita idamkan hidup bahagia dunia dan akhirat.
Selesai ziaroh maka para peziarah umumnya membawa pulang oleh-oleh yang berupa kerajinan maupun makanan tradisional buatan masyarakat sekitar yang kesemuanya mempunyai sejarahnya sendiri sendiri, misalnya kendi, maksud dari kendi ini adalah jika kita setelah berziarah pulang dengan membawa air suci dari Sunan Pandanaran. Karena kendi ini terbuat dari tanah liat dan mudah pecah, maka sebagai lambang kendi ini dibuat untuk kenang-kenangan.
Oleh oleh yang berupa intip adalah kerak nasi adalah nasi yang paling bawah dan paling matang sendiri bahkan sampai hangus mempunyai rasa yang khas apalagi bila dijemur sampai kering kemudian digoreng dengan diberi rasa asin atau manis, maksud oleh oleh intip ini adalah belajarlah/membacalah kamu sampai benar-benar paham (mengerak/ngintip) baru kamu boleh pulang dengan membawa ilmu yang benar-benar matang jangan hanya setengah-setengah.
Sedangkan oleh oleh pisang kepok/gedang kepok mempunyai arti gek ndang kapok, maksudnya setelah kita mengetahui dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kita cepat-cepatlah bertobat dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama pada kesempatan yang lain.
Dalam surat Ali Imron ayat 133-135 Allah SWT telah berfirman yang artinya kurang lebih :”Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang mau menafkahkan (hartanya) diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang mau menahan amarahnya. Dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji(fahisyah) atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu mmemohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Dalam surat Ali Imron ayat 133-135 Allah SWT telah berfirman yang artinya kurang lebih ”Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang -orang yang mau menafkahkan (hartanya) diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang mau menahan amarahnya. Dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji(fahisyah) atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Ada suatu riwayat ketika iblis la’natullah dikeluarkan dari surga dan diberi batas tempo, ia berkata: “Ya Tuhanku, demi keluhuran-Mu dan keagungan-Mu, saya tidak akan pernah berhenti untuk membujuk dan menggoda manusia, selagi di dalamnya masih ada ruhya”. Allah pun lalu menjawab: “Demi keluhuran dan keagungan-Ku, Aku tidak akan menghalangi taubatnya selagi ruh masih ada di dalam tubuhnya. Oleh karena itu kami memohon rahmat-Mu, wahai Tuhan dan Pencipta kami. Dan kami memohon dengan rahmat-Mu, wahai Dzat yang Maha Pengasih diantara yang pengasih, agar kami dijaga dari berbagai musibah cobaan (fitnah).
Setelah berziarah kita wajib menyebarluaskan ajaran dan petuah Sunan Pandanaran, maka tak heran jika banyak peziarah yang pulang dengan membawa kenang-kenangan kipas. Kipas itu merupakan simbol dari perlambang penyebarluasan ajaran Sunan Bayat kepada saudara, teman handai tauladan setelah pulang dari ziarah.
Dengan berziarah sambang sambung di Komplek Makam Ki Ageng Pandanaran I di Mugas, Kota Semarang dilanjutkan ke Makam Kanjeng Sunan Bayat di bukit Cokro Kembang, Paseban Bayat Kabupaten Semarang adalah perjalanan spiritual untuk meneguk banyak sekali hikmah yang tertoreh untuk kembali menyadarkan kita bahwa kita hanyalah mahluk kecil yang tidak ada apa apanya dibanding dengan kekuasaan Allah Tuhan Seru Sekalian Alam yang apabila menghendaki segala sesuatu hanya berkata Kun Fayakun, karenanya berziarah di pusara kedua makam keramat tersebut benar benar menampar kesadaran kita bahwa kita sebagai Mahluk maka pastilah akan kembali pada Sang Pencipta jika sudah sampai pada waktunya.
Semoga Bermanfaat
------------------------------------------------------------------------
Antara Semarang - Klaten, 17/11/2021.
------------------------------------------------------------------------
Semoga Allah SWT memberikan ampunan pada kita semua
Lahal Fatihah
--------------------------------------------------------------------------
Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu yang tampak dan yang gaib, sebab dia memiliki al asma'u al husna
--------------------------------------------------------------------------
* Tulisan ini adalah ikhtiar menyusun serpihan yang terserak yang mungkin jauh dari keshahihan, karena hanya Allah SWT yang mengetahui segalanya.
Apabila terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan ini maka penulis memohon maaf kepada para pembaca yang budiman, karena penulis hanya mencurahkan segala kebodohannya.
------------------------------------------------------------------------
Diolah dari wawancara dengan :
- Juru Kunci Makam Ki Ageng Pandanaran I
- Juri Kunci Makam Sunan Bayat
- Masyarakat sekitar sekitar Bayat
- Sejarawan terkait
BACAAN
- Budiman, Amen. Semarang Riwayatmu Dulu
Penerbit Satya Wacana, Semarang
- RE.Suhendar Diponegoro, rodovid.org
- Sejarah Kota Semarang, dpad.jogjaprov.go.id
- Dr. Purwadi, M.Hum, Sejarah Kabupaten
Semarang
- Habib Bahruddin Ba'alawi www.liputan68.com
- fahmi-aminawawi.blogspot.com
- Ranggawarsito Kitab Wirid Hidayat Djati
- HJ. De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram
- Wikipedia
- https://historia-id
.......................................
@ Penulis adalah tukang ngarit pakan kambing didesa yang hoby wisata di kuburan
0 Komentar