HARIANMERDEKA.ID| Tegal, Sebuah telaah kritis atas Histiografi Kolonialisme yang mendiskreditkan Prabu Amangkurat Agung sebagai sebuah kesadaran sejarah*
# Part 1
Oleh : Sofyan Mohammad **
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tiupan angin masih
Berhembus seperti biasa
Bumi tegal telah meriwayatkan pentasbihan Ki Gede Sebayu
Sebagai Juru Demung di Tlatah Tegal
Kyai Lembah Manah mencium aroma wangi
Untuk humus darma diri Pada cawan pengabdian
Alam semesta yang mengajar penuh kebijaksanaan
Segala tanaman yang tumbuh kekar di Tanah Arum
Tak satupun nampak
Bercerita tentang masa lalu yang kelam nun kejam
Kisah kebrutalan seorang Sinuwun yang lalim
Hanya diwartakan oleh
Syahwat gerombolan Walandi
Yang menyamar sebagai
Batang pohon yang kokoh
Padahal hanyalah seongok batang randu kapas yang akarnya
Menumpang di sela sela hara
Kita bangsa yang besar telah ditipu daya
Dalam epos carita kopong
Tentang kekejian, kebrutalan seorang junjungan pribumi
Amangkurat Agung
Pusara pembantaian itu
Tak ditemukan aromanya
Kebusukan itu justru bersumber dari mulut gerombolan penjajah
Yang menggonggong
Hmmm
Lagi lagi misi kolonialisme telah bermetamorfosa
Dalam secawan anggur memabukkan
Dalam lakunya membentuk kata dan huruf yang tak bermakna
Kyai Lembah Manah
Sang Guru telah menjatuhkan kebijaksanaan pada Tegal Arum
Berwira ajar dalam nafas cinta dan kepatuhan
Hingga sang murid pun ikut meneguk sejuknya tempat istirahat dari keletihan umur.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam tradisi bangsa kita yang menjunjung tinggi adab dan etika maka mengunjungi makam leluhur, tokoh pemimpin dan orang orang yang linuwih pada masanya dengan cara menziarohi makamnya adalah salah satu bentuk memberikan kehormatan pada orang yang telah tiada dan sudah dimakamkan tersebut.
Mempertahankan tali silaturahmi baik secara dzohir maupun batin merupakan bagian fundamental dari ajaran ilmu luhur, termasuk diantaranya memelihara silsilah (nasab dan sanad) baik dalam bentuk dokumen tertulis, cerita lisan run temurun, mengenang jasa dan pengorbanan yang telah ditunaikan, mewarisi keteladanan yang telah ditorehkan selanjutnya menebarkan dan menjunjung tinggi keharuman nama dan martabatnya dan mengubur dalam-dalam aib yang telah tertoreh maka hal tersebut juga bagian cara menjaga kehormatan leluhur sebagai manifestasi intisari ajaran luhur Jawa yaitu mikul duwur mendem jero (menjunjung tinggi dan mengubur dalam)
Kegiatan ziarah kubur dilakukan selain untuk mengenang keteladanan, jasa, dan pengorbanan yang telah diberikan, juga untuk memanjatkan do’a kepada Allah SWT - Tuhan Seru Sekalian Alam demi kebaikan berbagai pihak, yakni bagi ahli kubur, bagi nenek moyang yang telah meninggal maupun bagi seluruh anak keturunan yang masih ada, hal ini merupakan spirit untuk meneruskan perjuangan, baik pada saat ini maupun pada masa yang akan datang, hal ini bisa berlangsung ketika ada kesadaran sejarah.
Kesadaran sejarah akan mengantar pada proses perenungan dan pencermatan akan kisah hidup leluhur maupun tokoh yang di ziarahi tersebut, termasuk didalamnya ketika sowan sambang sambung ruh melalui ziaroh kemakam Kanjeng Prabu Amangkurat Agung atau Susuhunan Amangkurat Agunh ing Ngalogo di Tegal Wangi, Pekuncen, Adiwerna, Kabupaten Tegal Jawa Tengah maka akan menimbulkan spirit perenungan yang mendalam atas kisah hidup beliau sebagai salah satu sosok Raja Mataram Islam yang dianggap cukup kontroversial (setidaknya menurut histiografi kolonial) sehingga ketika mengenang kisah hidupnya maka akan muncul sikap dan sudut pandang yang skeptis bahkan sinis bagi sebagian kalangan tertentu yang sudah terlanjur mempercayai narasi penulisan sejarah mainstream yang ditulis dalam perspektif Histiografi Kolonialisme.
Dalam beberapa literasi yang sudah tersebar luas maka sosok Prabu Amangkurat Agung digambarkan sebagai tokoh antagonis ketimbang protagonis, ingatan dan pengetahuan dari banyak kalangan tertentu tersebut pada satu sisi dapat dimaklumi mengingat para sejarawan terlanjur memposisikan hal yang demikian yang merupakan tindakan yang tendensius dan subyektif dari pemerintah kolonial itu sendiri.
Prabu Amangkurat Agung selama berkuasa selalu dikaitkan dengan berbagai skandal salah satunya adalah adanya tragedi berdarah yaitu isu insiden pembantaian atas ribuan ulama pada masa pemerintahanya padahal melacak lebih jauh sumber sejarahnya sebagai sebuah fakta maka nampaknya penulisan tersebut hanya bersumber dari keterangan orang orang Belanda yang seakan akan tahu persis insiden itu telah benar benar berlangsung, sehingga munculah narasi yang sistematis, masif dan terstuktur untuk menunjuk Prabu Amangkurat Agung sebagai biang dari pada tragedi tersebut
Terkait dengan isu tragedi tersebut yang seakan nyata telah benar benar terjadi telah ditulis oleh sejarawan Belanda seperti H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), menulis pada intinya "bersama anak buah masing- masing, mereka menerima perintah untuk menyebar ke empat penjuru mata angin, sang raja berpesan agar “Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram luput dari pembunuhan" (hlm. 38).
Sejarawan Belanda lain yaitu Merle C. Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) telah menulis jika Amangkurat I digambarkan sebagai penguasa brutal tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitas. “Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai" (hlm. 31).
Dalam catatan sejarawan Belanda lain yaitu Van Goens menulis tentang Amangkurat I dengan narasi, “Ia meninggalkan semua pembesar yang sudah tua dan diangkat semasa pemerintahan ayahnya itu dalam suasana tercekam dan penuh kekhawatiran " tulisan lain dari Van Goens ialah “Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan”
Bahkan oleh sejarawan lain yaitu Soemarsaid Moertono dalam State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (1968) maka dalam tulisanya pada intinya menyebutkan jika Amangkurat I disebut sebagai “raja yang istimewa lalimnya".
Semua narasi penulisan oleh para sejarawan kolonial sedemikian dramatis yang seakan akan insiden itu nyata terjadi karena buah dari kebijakan Amangkurat Agung waktu itu, padahal keterangan tersebut sangatlah diragukan kebenaranya secara faktual mengingat penulisan tersebut hanya bersumber dari keterangan sepihak oknum Belanda yang seakan - akan benar - benar melihat dan mengetahui tragedi itu sementara ketika dicermati secara seksama maka semua penulisan para sejarawan kolonialisme tersebut nampaknya tidak terkorelasi dengan sumber sumber sejarah lainnya karena tidak ada sumber sejarah lokal yang menyebut bagaimana pembantaian tersebut berlangsung, lagi lagi sumbernya adalah catatan dari seorang pejabat VOC yang saat itu mengaku berdinas di Mataram yaitu yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654 (1956).
Kolonialisme Belanda sedemikian masif menulis sejarah dengan sangat subyektif dan tendensius untuk menjalankan kepentingannya yaitu ingin melanggengkan kekuasaan kolonialismenya sehingga dalam menulis sejarah tersebut bisa jadi hanya bersumber dari imajinier fiktif atau paling tidak yang terjadi hanyalah insiden kecil yang tidak relevan namun kemudian dibungkus dengan kemasan penulisan sejarah yang seakan akan ilmiah oleh para sejarawan Belanda yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah kolonial waktu itu dan tragisnya penulisan yang tidak terkorelasi dengan fakta sejarah tersebut justru dibenarkan oleh sejarawan para sejarawan kemudian yang lahir di era kemerdekaan sehingga syindrom yang berupa the mentaling legacy hasil kontruksi pemerintah kolonial tidak hilang meski Indonesia sudah merdeka.
Dalam pelacakan penulis maka banyak berserak tulisan sejarah tendensius kolonial yang masih dilegitimasi dan dipercayai oleh masyarakat kita selain yang disebutkan diatas maka historiografi kolonial dapat pula ditemukan dalam Koloniale Geschiedenis karya Colenbrander Geschiedenis van den Indischen Archipel karya B.H.M Vlekke, Beknopt Leerboek Geschiedenis van Nederlandsch Oost-Indie karya F.W Stapel dan masih banyak lagi yang kesemuanya content didalamnya masih dianggap akurat dan kredibel sebagai fakta sejarah.
Dalam faktanya bangsa kita sekurang kurangnya telah dijajah oleh beberapa bangsa lain seperti Portugis, Belanda, Inggris maupun Jepang yang kesemuanya nyaris melakukan historiografi kolonialisme yang ditulis oleh sejarawan mereka dan untuk kepentingan mereka sendiri meski sejarawan Jepang tidak begitu banyak melakukan manipulasi penulisan sejarah mengingat masa penjajahanya di nusantara hanya seumur jagung atau singkat selama kurang lebih tiga (3) tahun lamanya.
Historiografi kolonialisme dapat dilihat pada jurnal Historiografi (2016) karya Taufik Abdullah, yang disebutkan historiografi kolonial bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan kolonialisme di negara jajahan dan meredam perlawanan - perlawanan dari masyarakat pribumi. Padahal diketahui jika sejarah memiliki peran yang fundamental sebagai sarana untuk pembentukan jati diri dan karakter kebangsaan (national character building), karenanya istilah sejarah memiliki kedekatan pelafalan dan sekaligus pengertian dengan istilah kata syajarah yang berarti pohon atau syajara yang berarti terjadi (Kuntowijoyo, 2005:1).
Mencermati penulisan histiografi kolonial nampak sekali dilakukan dengan elaborasi yang sangat subyektif dan nisbi, sehingga justru menempatkan satu kenyataan lain karena itu butuh telaah kritis dengan perspektif dan sudut pandang alternatif untuk sampai pada pemahaman tentang pengertian dan makna sejarah yang harus dijadikan sebagai sebuah kenyataan sehingga dalam hal ini rekontruksi sejarah sangat perlu di ketengahkan kembali.
Menurut Kartodirdjo (1992:14-15), pengertian sejarah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni secara subyektif dan secara obyektif. Sejarah dalam arti subyektif adalah suatu konstruksi atau suatu bangunan yang disusun oleh sejarawan sebagai suatu cerita tentang suatu peristiwa tertentu yang terjadi pada masa lampau. Dalam hal ini, sejarah tidak bisa hanya merupakan hasil interpretasi yang dihasilkan oleh sejarawan secara subyektif, sisi subyektif seperti inilah yang memungkinkan adanya tafsiran yang berbeda antara sejarawan yang satu dengan sejarawan yang lainnya meskipun mengkaji suatu tema yang sama dan konteks ini maka tidak heran rasanya jika dalam sejarah Prabu Amangkurat Agung juga muncul polemik atau kontraversi.
Suatu peristiwa sejarah memang akan mampu mengundang berbagai spekulasi dari sisi pemikiran, pertanyaan, ekspektasi, kecemasan, inspirasi maupun tindakan antisipasi tertentu yang sangat berguna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik bagi kehidupan pada saat ini maupun kehidupan pada yang akan datang, karena sejarah memiliki makna yang mendalam dari suatu peristiwa fakta yang telah terjadi .
Terkait dengan penulisan sejarah tentang Prabu Amangkurat Agung dalam perspektif Histiografi Kolonialisme maka dapat kita baca lebih lanjut dalam buku Historiografi di Indonesia : Dari Magis Religius hingga Strukturis (2009) karya Agus Mulyana dan Darmiati, dalam buku dimaksud disebutkan historiografi kolonial memiliki ciri-ciri yaitu menggunakan sudut pandang Nerlando -sentris dan Eropa -sentris yang mana peristiwa sejarah yang ditulis hanyalah peristiwa yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan pemerintah kolonial di tanah jajahan.
Mencermati catatan dalam Historiografi Kolonial maka akan terlihat, sangat bersifat deskriminatif karena dalam narasi sejarahnya terdapat deskriminasi terhadap bangsa pribumi Nusantara yang diberi label primitif, kasar, kejam, bar bar atau sifat-sifat buruk lainnya melalui narasi-narasi penulisan sejarah didalamnya hal ini digunakan sebagai cara untuk melegitimasi kolonialisme di negara jajahan, sehingga jelas narasi sejarah pada Historiografi kolonial digunakan untuk menciptakan dan mempertahankan kolonialisme di bumi Nusantara
Historiografi kolonial setelah dicermati memiliki berbagai kelemahan yaitu subyektifitas histiografi kolonial sangat tinggi, sehingga validitasnya sangat rendah karena hanya berisi tentang kepentingan dari legitimasi kolonialisme, sementara keluhuran, ketinggian peradaban serta harmoniasi kehidupan masyarakat pribumi yang terdapat keseimbangan dalam hubunganya dengan Tuhan (spritual), hubungan sosial dan hubunganya dengan alam semesta nyaris dikesampingkan, yang pada pokoknya histiografi kolonialisme dalam istilah/ sanepo Jawa adalah "weroh macam ditulis ketemu kucing" (melihat harimau tapi ditulis melihat kucing) atau “kriwikan dadi grojogan” (sesuatu yang kecil namun dibesar besarkan).
Penulisan sejarah dalam historiografi kolonial sering disebut dengan istilah ‘Sejarah dari Geladak Kapal-Kapal Belanda’ karena hanya menggunakan sudut pandang dari orang- orang Belanda dan Eropa dalam kepentingan kolonialisasi, sehingga konten penulisan sejarah di bolak balik untuk mendegradasi nasionalisme bangsa yang di jajah sehingga sosok Pahlawan kita seperti Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Sultan Hasanudin, Sultan Agung dan lain lain justru dilabeli sebagai pemberontak, bromocorah pengacau kemanan bahkan demikian nampaknya penulisan sejarah atas Prabu Amangkurat Agung yang dideskrepsikan sebagai seorang Raja yang kejam dan sadis dan berbagai pembunuhan karakter lainnya hal ini patut diduga kolonial memiliki tendensi agar sosok Prabu Amangkurat Agung dapat dikenal oleh generasi berikutnya sebagai representasi orang Jawa yang memiliki sifat sifat buruk dan bar bar lebih lanjut Kolonial Belanda juga membangun misi secara politik agar Sunan Amangkurat Agung jauh dari kelompok agama atau ulama dan dijauhkan pula dengan rakyatnya dengan demikian cara ini bagian dari siasat politik adu domba (det vide et impiera) yang selanjutnya akan mempermudah pemerintah kolonial memperluas wilayah dan pengaruhnya di Nusantara
Motif menjauhkan Sunan Amangkurat Agung dari kalangan umat Islam dan ulama menjadi hal yang sangat perlu dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda selain misi zending untuk misionaris maka adalah untuk membungkam perlawanan para umat muslim yang dipimpin oleh para ulama dalam jaringan kyai - santri yang pada kenyataanya dalam rekam jejaknya memang menjadi ancaman serius bagi eksistensi kolonial di bumi Nusantara.
Islam di Nusantara, sejak kedatangannya terbukti telah berhasil memainkan fungsi fundamental politik dan ideologis dalam perjalanan panjang sejarah peradaban nusantara, karena dalam ajaran Islam memiliki akar pemahaman tentang titik singgung antara agama dan politik sangatlah tipis karena Islam sebagai way of life sekaligus sebagai sebagai agama, sehingga sejak awal perkembangannya kandungan politik di dalamnya sudah terasa sejak awal kehadiranya.(Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal. 32)
Selama kolonial Belanda bercokol di Nusantara maka telah mengalami berbagai pengalaman pahit karena kolonial Belanda sudah sangat kempringet (susah payah) dalam menghadapi kekuatan Islam di Nusantara untuk itu Kolonial Belanda nampak sekali paranoid terhadap umat Islam, Belanda sangat menyadari jika umat Islam selalu menjadi garda terdepan untuk menjadi penghalang atas cita-cita Kolonialis yang mengemban misi zending melanggengkan kekuasaannya sehingga dapat maksimal mengexsploitasi sumber daya alam nusantara, monopoli perdagangan serta menyebarkan agama Nasrani sebagai kepentingan misionarisme.
Tagline “perang jihad melawan kapir kompeni, perang sabil atau perang suci melawan penjajah” sering digaungkan para pejuang Nusantara untuk melawan kolonialisme dan hal ini nyata menjadi problem serius bagi otoritas pemerintahan kolonial Belanda sejak awal kemunculannya di tanah air dan perlawanan tersebut terus berlangsung dan susah sekali dipadamkan.
Pada abad 19 perlawanan terhadap Belanda semakin masif dan intensif seperti perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro pada tahun 1825 - 1830 tercatat sebagai perang besar yang harus dihadapi, konon diceritakan VOC hingga terancam bangkrut atau pailit, demikian perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat, perang Aceh tahun 1871-1912 juga nyata telah membuat serdadu dan pembesar kolonial harus pontang panting, empot empotan hingga mendekati kefrustasian, semua perlawanan tersebut dilakukan oleh pejuang dari kaum muslimin yang dipimpin oleh para ulama dalam jaringan Kyai - Santri.
Perlawanan umat muslimin tersebut jelas sangat mengancam eksistensi penjajahan Belanda di Nusantara karena selain kerugian besar secara materiil yang diderita maka juga menguras segala energi fisik dan non fisik yang dialami oleh Belanda, karena hal tersebut maka Belanda benar benar paranoid terhadap umat Islam.
Kebijakan pemerintahan Belanda untuk menjaga kelanggengan kekuasaannya difokuskan untuk sekuat tenaga menjinakkan sekaligus melumpuhkan kekuatan Islam yang memiliki kekuatan supremasi politik, idiologi dan kekuatan resuorce yang sangat membahayakan eksistensi kolonialisme di tanah air.
Sikap paranoid Belanda pada umat Islam bahkan dimungkinkan ada upaya untuk melenyapkan umat Islam di tanah air (genosida) justru dilakukan oleh Pemerintah Kolonial waktu itu seperti halnya narasi sejarah tentang pembataian sekitar 6000 ulama di masa Susuhunan Amangkurat I bisa jadi justru dilakukan oleh otoritas Belanda dengan manuver kasak kusuk untuk mengadu domba antar bangsawan Mataram dan pecah belah antar masyarakat selanjutnya menciptakan skenario untuk mengkambing hitamkan Sinuwun Amangkurat I sebagai pihak yang menginisiasi.
Manuver Belanda mengkambing hitamkan Prabu Amangkurat Agung cukup beralasan sebab pada masa Sultan Agung pihak Belanda sudah mendapatkan perlawan yang luar biasa sengit sehingga ketika menjelang Sunan Amangkurat Agung berkuasa, Belanda dimungkinkan bermanuver melakukan siasat politik adu domba untuk menciptakan perpecahan atau konflik internal pasca suksesi terpilihnya Sinuwun Amamgkurat Agung.
Politik perpecahan tersebut diciptakan melalui provokasi tentang sikap Susuhunan Amangkurat I yang dimungkinkan sebenarnya adalah memiliki sikap yang tegas, pemberani dan ntas thes (efektif dan cepat mengambil kebijakan) namun karena tidak sejalan dengan keinginan Belanda maka selanjutnya di buat narasi fitnah seakan - akan Sinuwun Amangkurat I adalah seorang raja yang kejam, bengis, tangan besi, ambisius dan paranoid dengan lawan lawan politiknya, hal hal ini cukup alasan untuk mengetengahkan berbagai siasat licik Belanda untuk mendiskreditkan nama baik dan kehormatan Sinuwun Amangkurat 1 melalui histiografi kolonial oleh para sejarawannya dan para orientalismenya.
Pembantaian para ulama dan umat muslim adalah pintu masuk sebagai shock terapy bagi ulama dan umat Islam agar tidak masif melakukan pemberontakan jika hal ini tidak berhasil maka Belanda dimungkinkan menyiapkan skenario geneosida terhadap umat Islam sebab Belanda terlalu besar keinginanya menghilangkan pengaruh Islam secara cepat karena kepentingan misionaris Kristenisasi, sebab Belanda memiliki keyakinan jika Kristen lebih unggul dari pada agama Islam hal ini bertolak dari sikap trauma dalam sejarah panjang perang Salib yang berlangsung selama berabad abad lamanya.
Belanda mengetahui jika orang Islam Nusantara atau Islam yang di anut di Indonesia kebanyakan bersifat sinkretis dan pada satu sisi Islam yang berkembang pada saat itu adalah Islam tarekat dan tasawuf sehingga justru Belanda mengalami kesulitan untuk di-Kristen-kan, terkait dengan ini pemerintah Kolonial Belanda setelah gagal dengan upaya pembantaian maka diterapkan upaya persuasif dalam rangka untuk menyukseskan kerja para Missionaris Kristenisasi dengan jalan memberi subsidi dan kemudahan beroperasi, yang secara bersamaan pada waktu itu Belanda sedang berada dalam tekanan partai-partai agama di parlemen yang menuntut supaya Hindia Belanda dibuka untuk kegiatan missi baik Roma Katholik maupun Protestan untuk sama-sama beroperasi di Indonesia (A.Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Keduapuluh. Surabaya: Bina Ilmu, 1981, hal. 19)
Sikap paranoid Belanda terhadap umat Islam semakin jelas terbaca dari sepak terjang Snouck Hurgronye yang merupakan orang Belanda yang selanjutnya dengan cara yang beritikad buruk secara munafiq belajar agama Islam agar bisa masuk dalam komunitas umat Islam guna mengetahui dari dalam segala sesuatu tentang Islam dengan harapan bisa menemukan cara untuk menghancurkan Islam.
Tentang siasat licik Belanda dapat terbaca dalam jurnal yang ditulis oleh Efendi yang berjudul Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam di Indonesia dalam perspektif sejarah (Studi pemikiran Snouck Hurgronye) yang menyebutkan pada pokoknya setelah kehadiran Snouck Hurgronje, maka kebijakan politik Belanda terhadap Islam di Indonesia mulai didasarkan pada landasan ilmiah yang seakan akan mengutamakan fakta - fakta obyektif. Snouck memang merupakan negarawan Belanda yang benar-benar besar dan ahli mengenai masalah penjajahan. Pengetahuannya yang mendalam tentang Islam di Indonesia, telah mendorong pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1889 mengangkatnya menjadi penasehat pada sebuah kantor pemerintah yang menangani masalah-masalah Arab dan pribumi. Analisanya tentang Islam di Indonesia, telah membuat Snouck mampu memformulasikan Politik Islamnya, dengan menampilkan politik Islamnya dianggap telah berhasil dalam seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar muslim itu.
Snouck Hurgronye dianggap sebagai “arsitek” karena siasat yang dijalankan telah menunjukan keberhasilan politik Islam yang paling “legendaris” hal ini sebab telah berhasil melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama di bidang sosial dan politik. Kehadirannya betul-betul telah membuka lembaran baru bagi sejarah penjajahan Belanda dalam menghadapi Islam di Indonesia (H.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985 hal. 2)
Dari ulasan tersebut maka dapat membuka kesadaran sejarah sebagai optic cakrawala alternatif yang baru mengenai sosok Sinuwun Amangkurat Agung yang digambarkan dengan stretoip yang sangat buruk oleh para orientalis dan sejarawan Belanda yang dikaitkan dengan berbagai skandal asmara, intrik politik busuk maupun dikaitkan dengan tragedi berdarah pembantaian secara serentak sekitar 5 - 6 ribu ulama dan umat muslim dimasa pemerintahnya yaitu pada tahun 1646 - 1677.
Dari fakta fakta yang bisa ditemui sekarang dengan kesadaran sejarah dan analisa yang kritis maka sungguh ironi jika Sunan Amangkurat Agung digambarkan sedemikian buruk oleh histiografi kolonial sebab faktanya Sinuwun Amangkurat Agung adalah sosok muslim yang taat sejak kecil hingga akhir hayatnya.
Sinuwun Amangkurat Agung dikisahkan sejak kecil telah memperoleh pendidikan agama Islam yang cukup dilingkungan kraton terlebih ayahandanya yaitu Sultan Agung Hanyokrokusomo di kisahkan sebagai seorang ayah yang sholeh, cerdas, pemberani dan bijaksana serta alim dalam ilmu Agama sehingga beliau menjadi Raja Mataram yang paling legendaris karena mampu meletakan kaidah kaidah Islam dalam struktur pemerintahanya dan mampu mengakulturasikan secara brilian dan presisi antara kaidah hukum Islam dengan hukum adat yang dalam penerapannya mampu secara harmoni menciptakan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat hingga Mataram dibawah kekuasaan telah memasuki masa keemasannya yaitu Kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan digdaya yang harum namanya sampai berbagai belahan negara manca lainnya
Selain dari pada itu Sinuwun Amangkurat Agung diyakini juga mendapatkan ajaran ilmu agama Islam dari para ulama ulama kraton yang tentu diyakini memiliki sanad keilmuan yang tak dapat diragukan lagi dan setelah itu diketahui Sinuwun Amangkurat Agung juga berguru dan menjadi murid kinasih dari pada Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah dari Tegal Arum.
Pada masa itu tentu saja pelajaran agama Islam bukan hanya menyangkut pelajaran tentang furu'i dan syariat saja namun pasti juga diajarkan tentang tarekat dan tasyawuf dalam dimensi spiritual yang mendalam, sehingga para guru baik yang berada dilingkungan Kraton Mataram sewaktu Sinuwun Amangkurat Agung masih kecil hingga guru Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah tentu mengajarkan segala keluhuran ajaran Islam secara menyeluruh terhadap Sinuwun Amangkurat Agung, dengan demikian beliau pasti menguasai betul tentang adab, akhlaq maupun makna ibadah beliau selaku pribadi muslimin sekaligus pribadi seorang priyagung Jawa juga selaku Raja yang merupakan representasi Tuhan di dunia yang bertanggung jawab memimpin rakyat Mataram kala itu, sehingga fakta ini tentu saja bertolak belakang dengan narasi histiografi kolonial yang mencitrakan beliau sebagai raja yang lalim, kejam, dzolim, ambisius dan tega membunuh para guru, saudara dan rakyatnya sendiri yang juga sesama muslimin.
Fakta lain yang dapat dilihat sekarang adalah makam beliau Sinuwun Amangkurat Agung yang menyatu dengan makam gurunya yaitu Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah yang berada di Desa Tegal Wangi, Pekuncen, Adiwerna, Kab. Tegal, Jawa Tengah. Padahal sebagai Raja yang berkuasa di Mataram maka ada pemakaman khusus yang diistimewakan yaitu di Pasarean Imogiri yang terletak di Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta maupun di komplek pasarean Kotagede yang berada di samping Masjid Gedhe Mataram yang dulunya merupakan kompleks dari keraton atau Istana Mataram Islam di Kotagede, Yogyakarta, namun khusus Sinuwun Amangkurat Agung justru berwasiat agar dimakamkan di samping makam gurunya di Tegal Arum dan tidak berwasiat untuk memilih dimakamkan di Imogiri maupun Kotagede hal ini mengandung pengertian ilmu isyaroh yang dapat dimaknai tentang keluasan dan keluhuran ilmu beliau tentang adab.
Dengan fakta Sinuwun Amangkurat Agung berwasiat untuk dimakamkan di samping gurunya di Tegal Arum maka dapat dipahami jika beliau sangat takdzim dan hormat dengan gurunya sebab dalam kajian Islam hubungan guru dan murid sangatlah istimewa karena menyangkut pertautan batin yang terjalin secara lahir dan batin, dunia dan akhirat karena di dalam diri guru tersimpan Nur Ala Nurin yang pada hakikatnya terbit dari Dzat dan Fi’il Allah SWT yang merupakan zat yang Maha Positif.
Adab seorang murid terhadap gurunya menjadi sangat fundamental karrna di dalam agama Islam mengajarkan
و أنزِلِ الشيخَ بِاَعلى مَنزِلَه
و عَظِّمَن لِاَمرِه وامتَثِلَه.
Tempatkanlah gurumu pada kedudukan yang tertinggi, Agungkan dan taatilah perintahnya.
وَاجعَلهُ مثلَ الوالِد الشّفيقِ
فاِنّهُ أبٌ على التّحقيقِ.
Jadikanlah kedudukan beliau sebagaimana orang tua yang penyayang
و قَدرُه عظَّمَهُ الرّحمنُ
جاءَ بعُظمِ قَدرِه القرآنُ.
Kedudukannya dimuliakan oleh ALLAH, yang telah disebutkan dalam AlQur'an.
و هُو الّذي بِه غِدا الرّوحِ الشّريف
و الوالِدُ البَرُّ ابو الجِسمِ الكَثِيف.
Karena beliau yang memberi makan ruh yang mulia, sedangkan orang tua kandung itu yang memberi makan jasad kita
فقُم لِمَن غَذَّاكَ بِالعُلومِ
بِواجِبِ الاِكرامِ والتّعظِيمِ.
Maka tunaikanlah kewajibanmu terhadap guru yang memberi makan ruhmu dengan ilmu, dengan memuliakan dan mengagungkannya.
و لا تَقُل قالَ فلانٌ اِن نَقل
قَولاً إذا رأيتُ في القَولِ خَلَل.
Apabila beliau mengatakan sesuatu, janganlah engkau berkata : "Fulan mengatakan seperti ini (yang berbeda)"
لكِن بِرِفقٍ بَيِّنِ الصّوابَا
مُستَفهِمًا وَاستَلطِفِ الخِطابَا.
Akan tetapi jelaskanlah yang sebenarnya dengan sopan dan dengan ucapan yang lemah lembut.
و قُم لَهُ إذا أتَى وَاحتَرِمِ
و قبِّلِ الكَفَّ الشّريف و الثّمِ.
Dan ketika beliau datang berdirilah untuk menyambutnya, hormatilah dan ciumlah tangan mulia beliau
و نادَهِ بِاَشرفِ الاَسماءِ لَه
و لبِّهِ إذا دعا و بجِّلَه.
Panggillah beliau dengan sebaik baiknya nama, jawab dan muliakanlah seruannya jika beliau memanggilmu.
و بِالوقارِ فاَجِبهُ إن ساَل
و لا تُطِل سُؤَالَهُ عِندَ المَلَل.
Jawablah pertanyaan beliau dengan santun dan jangan banyak pertanyaan ketika beliau bosan (capek)
لا تَرفَعِ الصَّوتَ لديهِ إن حضر
فإنّهُ النّائِبُ عن خير البشر.
Jangan mengeraskan suara dihadapannya,
karena sesunguhnya beliau adalah pengganti sebaik baik manusia yaitu Rosulullah SAW.
و لا تُخاطِبهُ خِطابَ الغيرِ
إن رُمتَ أن تحظى بِكُلِّ خيرِ.
Janganlah berbicara dengan beliau seperti
engkau berbicara dengan yang lain, jika engkau ingin mendapat segala kebaikan.
و لا تَقُم عن غيرِ إذنٍ منهُ
واصْغِ لِقَولٍ منهُ وافْهَم عنهُ.
Janganlah berdiri kecuali dengan seizin beliau, dengarkan dan fahamilah ucapannya.
لا تَتَّهِمهُ إن نهاكَ أو أمر
و لَو بِما تراهُ في الظّاهِر شر.
Jangan buruk sangka jika beliau melarang atau memerintahkan sesuatu meskipun engkau melihatnya secara dhohir itu adalah keburukan.
ما لم يكُن معصِيةً لِلّهِ
الحُقوقِ حقُّ اللّهِ.
Selama hal tersebut bukan kema'siatan kepada ALLAH,
sebab hak yang paling agung adalah hak ALLAH.
واخْتَر مِنَ الاَشياخِ أهلَ الخَشيَةِ
واحْذَر دُعاةَ بِدعَةٍ و فِتنَةِ.
Pilihlah guru guru yang memiliki rasa takut (ahli khosyyah) kepada Allah dan berhati hatilah terhadap orang yg mengajak bid'ah dan fitnah.
فالعِلمُ عِلمُ القلبِ و الاَعمالِ
فاحذَر عُلومَ الزَّيغِ و الضّلالِ.
Karena hakikatnya ilmu itu adalah ilmu hati dan amal, maka hati-hatilah dari ilmu yang menyimpang dan sesat
Pengetahuan adab hubungan murid dengan gurunya tersebut tentu sangat dijunjung tinggi oleh beliau Sinuwun Amangkurat Agung sebab faktanya beliau berwasiat ketika meninggal dunia maka memilih untuk jenazahnya agar dimakamkan dalam satu komplek dengan makam gurunya yaitu Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah, bertolak dari pengetahuan adab dan akhlaq yang tinggi ini maka logika apa yang dapat digunakan untuk membenarkan deskripsi histiografi kolonial yang telah mendeskreditkan Sinuwun Amangkurat Agung sebagai sosok Raja Mataram yang bengis dan lalim, tentu menurut keyakinan penulis yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya yaitu Sinuwun Amangkurat Agung sewaktu masih hidup memiliki perengai sikap yang tegas, berwibawa, pemberani, berintegritas tinggi sebagai seorang raja dan memiliki kasih sayang terhadap sesama karena buktinya beliau sangat takdzim, hormat dan setia terhadap gurunya yaitu Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah
Bertolak dari fakta ini pula diyakini jika sang Guru yaitu Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah adalah sosok guru teladan yang memiliki keleluasaan ilmu lahir dan batin, memiliki keistimewaan dalam dimensi spiritual yang tinggi maqomnya karena hal tersebut tentu banyak kebijaksanaan ilmu yang diajarkan kepada muridnya yaitu Sinuwun Amangkurat Agung sehingga keduanya memiliki hubungan ikatan yang sangat intim secara dzohir- batin, dunia - akhirat dalam hubungan antara murid dan guru.
Fakta lain yang sangat mencengangkan dari fenomena Sinuwun Amangkurat Agung yang dimakamkan di Tegal Arum bersanding dengan makam Gurunya adalah sebagaimana selanjutnya diuraikan oleh Juru Kunci makam yaitu Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko yang telah mendapatkan amanah sebagai juru kunci makam yang ditandai dengan upacara wisuda pemberian kekancingan atau gelar oleh otoritas Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada tanggal 1 Suro Alip tahun 1955 atau 1 Muharam 1444 H atau bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 2021.
Juru Kunci makam Sinuwun Amangkurat Agung dan Makam Kyai Lembah Manah di komplek pemakaman Astana Tegal Arum berlangsung secara turun temurun dari leluhur Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko yang juga merupakan keturunan dari pada Raden Adipati Manduroko sehingga beliau diangkat sebagai juru kunci makam karena mengantikan orang tuanya yaitu Alm. Mas Ngabehi Masruri Gondo Hastono maupun kakeknya Alm.Kyai Anshor yang telah meninggal dunia dan dimakamkan pula di komplek Astana Tegal Arum di bagian luar tepatnya dibagian pintu masuk yang berbatasan dengan tembok masjid Jami' Pakuncen Tegal Arum.
Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko ditemani oleh kerabatnya yaitu Mas Ngabei Nuril Iman Rekso Samekto dan mas Maman Firmansyah telah menceritakan tentang kekeramatan dari pada makam Sinuwun Amangkurat Agung yang dikisahkan berdasarkan dari cerita para leluhurnya secara turun temurun dan hingga saat ini masih terus dibicarakan dari mulut ke mulut oleh sebagian masyarakat jika jenazah Sinuwun Amangkurat Agung tidak pernah membusuk dan tetap utuh secara alami bahkan nampak seperti masih hidup karena kuku dan rambutnya masih tumbuh dan memanjang.
Menurut penuturan dari Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko maka konon dulu jenazah Sinuwun Amangkurat Agung diletakan di liang lahat dalam posisi duduk dengan pakaian bermotif lurik atau sorjan dan dikepalanya mengenakan iket udeng dan keberadaanya tidak dikijing atau tidak ditutup dengan batu nisan akan tetapi hanya ditutup dengan kaca saja dan konon dahulu secara rutin setiap tahun pihak para pangaggeng Keraton Kasunanan Surokarto Hadiningrat senantiasa datang setiap tahun untuk melakukan jamas sekaligus melakukan pemotongan rambut dan kukunya yang berlangsung sejak tahun pertama Sinuwun Amangkurat Agung meninggal dunia pada tahun 1677 hingga berlangsung sampai kisaran tahun 1960an yang mana pada saat itu juru kunci makam masih di pegang oleh kakek Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko.
Ditambahkan lagi oleh Mas Ngabei Nuril Iman Rekso Samekto yang bersumber cerita dari orang tua dan kakeknya jika pada pada tahun 1960 an maka atas pertimbangan dari Keraton Kasunanan Surakarta serta para ulama akhirnya semua bersepakat untuk menutup makam Sinuwun Amangkurat Agung dengan batu nisan secara permanen
Bahwa terkait dengan fenomena jasad Sinuwun Amangkurat Agung yang konon masih utuh secara alami tanpa di awetkan, dibalsem atau di mumi maka hal tersebut sering kita dengar dalam beberapa pemberitaan maupun kisah kisah yang tertoreh atas utuhnya secara alami jasad para syuhada, para fuqoha, para ulama maupun para alim yang telah meninggal dunia dibeberapa daerah di Indonesia maupun dibeberapa negara lain diseluruh dunia yang diketahui jasadnya utuh setelah makamnya dibongkar, karena forje mayor atau karena satu dan lain hal yang diluar dugaan. Fenomena tersebut lantas dikaitkan dengan sudut pandang spiritual yang menyebutkan jasad demikian diyakini yang bersangkutan selama hidup memilki keistimewaan di sisi Allah SWT yang barangkali yang bersangkutan ketika masih hidup oleh manusia sekitarnya dianggap biasa bahkan mungkin terkadang justru dianggap orang dzolim dan lalim sekalipun namun Allah SWT memiliki kehendak dan pengetahuan diluar apa yang dilihat manusia pada umumnya.
Fenomena jasad masih utuh secara alami maka dalam sudut pandang ilmu medis modern sebagaimana dilansir dari Live Science, maka hal tersebut dikaitkan dengan adiposera, yaitu senyawa organik yang terbentuk melalui reaksi hidrolisis oleh bakteri anaerob pada jaringan adiposa (jaringan lemak) di dalam tubuh, dengan senyawa ini, lemak di jaringan lunak berubah menjadi zat seperti sabun keras sebuah proses yang disebut saponifikasi. Zat ini bertindak sebagai pengawet dan memperlambat dekomposisi (proses penguraian) normal.
Mengutip buku karya Dr. Abdul Hamid Al-Qudhah yang berjudul “Jasad Para Syuhada Tak Membusuk" maka diperoleh pengertian jika ilmu Kedokteran telah mampu mendeteksi proses - proses pembusukan mayat (degradasi organisme) di dalam kubur, sejak ruh menginggalkan tubuh hingga tubuh berubah menjadi gas, cairan dan ammonia, di dalam Alquran Allah SWT telah ber Firman yang berbunyi" sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada- Nya” ( Al-A’raf :29).
Mikroba bekerja bersama pihak lain dalam menyelesaikan tugas ini, khususnya mikroba anaerob yang hidup didalam usus manusia, enzim-enzim yang terlepas dari sel-sel setelah tubuh menginggal dan larva-larva tanah yang berkembang biak dengan sangat cepat. Mereka semua menggerogoti sel-sel mayat dengan sangat lahap. Namun Fenomena ini tidak berlaku pada jasad Nabi, Syuhada juga jasad orang hafidz Qur’an . Tubuh mereka masih tetap utuh dan kebal terhadap bakter-bakteri pembusuk tersebut. Meski telah terkubur berpuluh-puluh, ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Seakan-akan mereka masih hidup berada di tengah-tengah kita. Benarlah apa yang disampaikan oleh Allah Ta’ala,” Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup disisi Rabbnya dengan mendapat rezeki.(Ali Imran;169).
Kini fakta masih utuhnya jenazah Sinuwun Amangkurat Agung telah menjadi fakta yang dapat menegasikan penulisan histiografi kolonial karena dengan fakta ini kini bisa berlaku sebagai salah satu sumber sejarah dalam konteks kesadaran sejarah yang bertolak dari fakta sumber sejarah, fenomena tentang streotip buruk atas kisah hidup Sinuwun Amangkurat Agung yang patut diduga sengaja diciptakan oleh histiografi kolonial maka dapat dihujah pendapat tersebut dengan adanya kisah pada zaman Nabi Musa AS yang dinukil dari buku Kitab Usfuriyah : Kisah-kisah Hikmah dari Lektur Pesantren maka dikisahkan ada seorang laki-laki di zaman Nabi Musa AS meninggal dunia. Namun tidak ada yang mau memandikannya karena perilaku durhaka selama masih hidup. Jenazah tersebut akhirnya dibuang di tempat sampah.
Allah SWT kemudian mewahyukan kepada Nabi Musa AS, “Musa. Telah mati seorang laki-laki, jenazahnya kini di tempat sampah. Padahal ia kekasih-Ku. Ia tidak dimandikan, tak dikafani, dan tak dikuburkan. Maka berangkatlah, mandikan, kafani, sembahyangkan, dan kuburkan dengan kemuliaan!” Mendapat perintah tersebut, Nabi Musa AS kemudian berangkat ke tempat yang ditunjuk. Beliau kemudian menanyakan kepada penduduk, “Benar di sini ada laki- laki durhaka yang meninggal,” jawab salah seorang penduduk.
Singkat cerita Nabi Musa As berkata “Tuhan, engkau mengutusku menguburkan dan menyembahyangkannya. Padahal kaumnya menyaksikan ia adalah seorang durhaka. Hidupnya hanya melakukan perbuatan tercela. Hanya Engkau yang tahu soal puji dan cela " lantas Allah SWT berfirman "Benar Musa. Orang-orang itu juga benar. Mereka menghukum laki-laki itu karena perbuatannya. tapi aku telah mengampuninya karena tiga sebab. Ketahuilah kalau seorang pendosa minta ampun kepada-Ku dan Kuampuni, mengapa dia tidak? Padahal ia pernah berkata kepada dirinya bahwa Aku adalah Tuhan Maha Penyayang.”
Allah SWT melanjutkan Firman- Nya “Maka kuampuni dosanya, Kurahmati dia. Sungguh Aku-lah Yang Maha Kasih dan Maha Penyayang, khusus kepada mereka yang mengakui kesalahannya di hadapan-Ku. Dan laki-laki ini telah mengakui kesalahannya, maka Kuampuni dia, kulewatkan segala dosanya. Wahai Musa, lakukan apa yang Ku perintahkan. Akupun mengampuni orang-orang yang membayangkannya serta ikut menguburnya, demi kemuliaan yang dia miliki.”
Bertolak dari kisah tersebut maka kemulyaan dan kekeramatan Sinuwun Amangkurat Agung menjadi sebuah keniscayaan karena sehebat hebatnya dan selicik liciknya kolonial Belanda melakukan manuver dan siasat untuk mendiskreditkan Sinuwun Amangkurat Agung melalui narasi yang dibuat oleh histiografi kolonialisme maka Allah SWT yang memiliki kuasa dan kehendak untuk sesuatu hal yang bersifat Haq adalah Haq sesuatu bersifat bathil maka itulah bathil karena Dia pulalah yang bersifat MUHITH, artinya meliputi akan segala ruang dan segala waktu. “Tidak ada bagi mereka selain Dia, akan Pelindung.”
Menganalisa fenomena utuhnya secara alami jenazah Sinuwun Amangkurat Agung maka kita sebagai generasi penerus yang masih berkesempatan hidup didunia maka dengan niat mencari Ridlo Allah SWT semata dan dengan semangat "mikul duwur mendem jero" maka mari kita raih ridho Allah dengan menjadi bagian dari mereka yang mendapatkan karomah jasad yang tidak hancur dimakan oleh “zaman”. Mari kita beriktiar menjadi mu’adzin al-muhtasibin , sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin Umar Rosulullah SAW bersabda,” Mu’adzin al-muhtasibin (yang mengharap pahala disisi Allah) seperti seorang syahid yang berlumuran darah. Apabila dia mati jasadnya tidak dimakan belatung didalam kuburnya” ( Diriwayatkan oleh Mundziri dalam At-targhib wat Tarhib,I:181.no.24)
Menurut keterangan Mas Maman Firmansyah yang juga bersumber cerita para orang tua terdahulu jika prosesi penutupan makam secara permanen dalam liang lahat ditempatkan jenazah Sinuwun Amangkurat Agung tersebut berlangsung secara khidmad dan sakral yang pada saat itu dilakukan oleh para pembesar Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan melibatkan para ulama ulama dengan dihadiri para pejabat setempat dan para trah lain dari pada Sinuwun Amangkurat Agung.
Baik Mas Ngabei Nuril Iman Rekso Samekto maupun Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko menjelaskan jika secara dzohir maksud penutupan makam salah satu tujuannya agar tidak terjadi salah persepsi maupun salah arah tujuan bagi orang orang yang datang berziarah yang berpotensi dapat mengarah pada bentuk kemusyrikan dan kesesatan sehingga nantinya dapat berdampak terjadinya fitnah dan citra buruk pada makam tersebut tersebut, maka sejak saat itu tradisi jamas potong rambut dan kuku oleh Kasunan Surokarto Hadiningrat sudah tidak berlangsung lagi hingga saat ini.
Pada saat ini makam Sinuwun Amangkurat Agung terdapat nisan dari batu yang dibungkus dengan kain putih bersih dengan aksesoris rendra rendra bermotif bunga di setiap sudut nisan sementara diatasnya berdiri tajuk berbahan kayu jati berukuran sekitar 2, 5 x 1 meter persegi yang dibalut dengan hiasan kelambu kain putih bersih dengan motif jahitan rendra batik bermotif bunga yang dibagian setelah pintu masuk diletakan sketsel kayu jati berukir bunga.
Nisan mskam ini berada didalam bangunan joglo berdinding papan kayu jati berukuran sekitar 7 x 5 meter persegi yang dibagian dalam tidak dicat sehingga tampak tekstur alami kayu jati serta dipajang foto foto diri Sinuwun Amangkurat Agung sewaktu masih hidup. Untuk dinding luar dicat dengan warna kuning berkombinasi dengan pilar pilar kayu yang dicat dengan warna hijau tua sungguh perpaduan warna yang serasi untuk menciptakan harmoni dimensi kesakralan.
Bangunan joglo yang didalamnya terdapat nisan Sinuwun Amangkurat Agung tersebut berdiri diatas tanah dengan posisi paling tinggi, dibagian depan bangunan terdapat tangga berundak yang setiap anak tanggal di kanan kiri terdapat gapura berbahan bata merah dengan bentuk artsitektur gapura model transisi era majapahitan menuju era Pajang dan era Mataraman sehingga berkesan klasik nan arstistik, untuk bagian depan sebelum menaiki anak tangga disebelah kanan dan kiri ditempatkan pula padasan air berbentuk gerabah yang terbuat dari tanah liat sehingga nampak sekali dimensi kesakran nan profan atas lenskap bangunan makam Sinuwun Amangkurat Agung ini.
Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko dan Mas Maman Firmansyah secara sabar memberi penjelasan nama nama orang yang dimakamkan di komplek pemakaman dengan cara menunjukan nisan nisannya yang berjejer rapi anggun dan terkesan keramat yaitu nisan yang terletak di sebelah barat joglo pada trap pertama adalah batu nisan untuk makam sang Permaisuri yaitu Kanjeng Ratu Kencono, sedangkan di sebelah timur di trap pertama adalah nisan makam Bendoro Raden Ajeng Klenting Kuning yang merupakan putri dari Sinuwun Amangkurat Agung dan Kanjeng Ratu Kencono. Bendoro Raden Ajeng Klenting Kuning dikisahkan semasa hidup diperistri oleh Mertosuro seorang Bupati Banyumas V yang bergelar Tumenggung Yudanegara.
Masih diarea dalam komplek makam maka disebelah barat atau kanan terdapat nisan berjejer yang merupakan makam para Bupati Tegal masa lalu termasuk didalamnya juga terdapat makam Raden Ajeng Kardinah yang merupakan saudara kandung Pahlawan Nasional Raden Ajeng Kartini, sedangkan di sebelah timur juga terdapat beberapa nisan berjejer rapi yang merupakan makam para Adipati Tegal tempo dulu.
Diluar tembok utama dalam disebelah barat juga terdapat nisan nisan yang merupakan makam bagi para dzuriah bupati dan Adipati Tegal tempo dulu, sedangkan di sebelah timur terdapat makam Sayyid Muchsin beserta para dzuriah atau kerabatnya yang menurut penjelasan dari Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko maka Sayiyd Muchsin adalah salah satu bupati periode awal di kabupaten Tegal tempo dulu.
Di belakang komplek makam Sayyid Muchsin maka terdapat pula sumur yang dikeramatkan yang disebut dengan sumur tuk pitu, karena di sumur yang tidak begitu dalam sekitar 6 -7 meter tersebut menurut keterangan Mas Maman Firmansyah terdapat tujuh (7) mata air didalam satu lubang sumur, yang konon keramat karena airnya berkhasiat untuk beberapa keperluan, keberadaan sumur tuk pitu bisa jadi merupakan bentuk kiasan atau sanepo yang bermakna pitulungan atau air untuk pertolongan, pada saat itu penulis sempat dijinkan masuk dan mandi menggunakan air sumur tersebut dengan cara menimba air secara manual didalam bangunan tertutup berukuran sekitar 2x3 meter persegi dan sumurnya terletak dipojok bangunan, sebelum mandi maka penulis sempat diberi ijazah doa untuk memulai mandi yang diberikan oleh Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko dan setelah selesai mandi maka yang dirasakan penulis paling tidak segala rasa capek dan lesu menjadi hilang, otot otot menjadi terasa rilek, menurut penuturan Mas Maman Firmansyah banyak kisah kisah mistik yang dialami banyak orang setelah mandi menggunakan air sumur tuk pitu tersebut, yang pada pokoknya sumur tersebut adalah sumur peninggalan Sinuwun Amangkurat Agung sewaktu masih menjadi murid dari pada Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah, sehingga harus dilestarikan agar airnya dapat memberi manfaat bagi para peziarah yang datang sekurang - kurangnya dapat dipergunakan sebagai air wudlu.
Untuk dapat memasuki area makam yang dikelilingi dengan tembok keliling berbahan batu merah lama setinggi kurang lebih 180 centi meter maka harus melintasi tiga pintu berurutan yaitu pintu pertama terletak diluar yang begitu masuk dialamnya maka akan langsung disuguhi dengan berdirinya secara kekar pohon beringin yang nampak berusia ratusan tahun yang masih berdiri kokoh dihamparan tanah dengan rumput hijau, selanjutnya memasuki pintu kedua adalah area yang terdapat sumur pitu serta komplek makam Sayyid Mucsin berikut para kerabatnya di kanan kiri jalan baru memasuki pintu ketiga yang merupakan komplek makam utama yang merupakan lokasi dari pada makam Sinuwun Amangkurat Agung.
Sedangkan lokasi makam Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah terletak di sebelah Utara makam Prabu Amangkurat Agung, makam dengan nisan tersusun dari bata merah yang ditata secara berundak dengan pager pembatas terbuat dari bahan besi setinggi sekitar 1 meter tersebut, ketika memasuki area makam maka langsung merasuk hawa sakral dan keramat sehingga tak dapat dipungkiri jika guru dari pada Prabu Amangkurat Agung ini semasa hidupnya pastilah orang yang sholeh, alim dan bijaksana dengan memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi.
Untuk mencapai makam ini maka melewati jalan antara Masjid Jami' Pakuncen dengan Tembok komplek makam Prabu Amangkurat Agung, selanjutnya akan melewati pula makam Mbah Sholeh dan para dzuriahnya yang tepat berada di belakang mighrab masjid yang dibawahnya di sebelah tembok masjid persis terdapat makam keluarga besar dari pada juru kunci makam.
Untuk komplek makam Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah tidak ada tembok pembatas karena berbatasan langsung dengan bangunan pondok pesantren Al Ishlah, Ponpes yang didirikan oleh Alm. Mbah Kyai Soleh yang saat ini pesantren tersebut di asuh oleh dzuriahnya yaitu Kyai Ali Sakhuri, para santri di Ponpes tersebut sangat familiar dengan makam karena terlihat aktifitas mereka pada tengah malampun masih diluar bangunan pondok tepatnya dipinggiran komplek makam Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah karena hal tersebut maka aktifitas para santri terlihat sangat mabruk alfa mabruk.
Setelah melakukan ziaroh sambang sambung maka penulis diperkenankan oleh Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko yang selanjutnya disusul pula oleh Mas Ngabei Nuril Iman Rekso Samekto dan Mas Maman Firmansyah dengan suguhan kopi hangat gayo khas aceh dan hidangan berbagai cemilan maka dengan ramah serta runtut ketiganya juga menyampaikan sirah atau sejarah singkat Sinuwun Amangkurat Agung sewaktu masih hidup, selanjutnya oleh penulis dilengkapi dengan berbagai sumber bacaan. Dengan menghembusan asap rokok kretek Mas Ngabei Nuril Iman Rekso Samekto memulai cerita bahwa Sinuwun Amangkurat Agung yang lahir pada tahun 1619 merupakan putra dari Sultan Agung Hanyokrokusomo, nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin dan pada tahun 1645 beliau diangkat menjadi Raja Mataram menggantikan ayahnya dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga yang pada saat naik tahta pada tahun 1646, gelarnya menjadi Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung.
Malam itu sambil menyodorkan cemilan wingko babat dan gorengan hangat kepada penulis maka Mas Ngabehi Irkham Reksopuspoko melanjutkan kisah tentang Prabu Amangkurat Agung bisa dimakamkan di Tegal Arum adalah karena waktu itu karena satu dan lain hal tengah terjadi konflik dan pemberontakan didalam kraton Mataram maka Prabu Amangkurat Agung beserta istri dan putra – putranya meninggalkan Keraton Mataram bermaksud hendak menuju kearah Batavia, namun dalam pelariannya tersebut Prabu Amangkurat Agung jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas. Beliau berwasiat untuk dimakamkan di dekat gurunya yaitu Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah di Tegal.
Menyambung cerita pada malam itu maka dengan membaca kisah dalam tulisan Thomas Stamford Raffles dalam buku History Of Java maka disebutkan sebelum wafat, pada tanggal 10 Juli 1677, sesudah larut malam, Sunan Amangkurat menyerahkan pemerintahan Mataram kepada putranya Pangerah Adipati Anom dengan memberi pesan, agar terlebih dahulu merebut negeri Mataram dari tangan Trunajaya, dengan cara berperang dan berpesan ketika dirinya meninggal agar dimakamkan di Tegal, tidak jauh dengan gurunya yaitu Kiai Lembah Manah. “jika di situ ada tanah yang menonjol, ciumlah segera apakah tanah itu mengeluarkan bau wangi, maka di situlah tempat makamku,” begitu pesan Amangkurat I kepada putranya Adipati Anom.
Tidak lama setelah berwasiat tersebut maka ternyata Sinuwun Amangkurat Agung mangkat dan untuk mengabulkan keinginan mendiang ayahnya, jenazah Sang Susuhunan kemudian dibawa oleh Pangeran Adipati Anom melintas negeri menuju Tegal dan mencari tanah yang berbau harum seperti yang diwasiatkan ayahandanya selanjutnya dalam versi Babad Tanah Jawa dituturkan riwayat Amangkurat I mulai dari kepergiannya dari Plered sampai meninggalnya di Ajibarang dan di makamkan diTegalwangi maka Pangeran Adipati Anom dan Raden Tapa putra bungsunya, tidak mampu menahan haru, suara tangisnya seperti “prahara”, tanggal 12 Juli 1677 Sunan Amangkurat Agung wafat, Adipati Anom kemudian mengabarkan wafatnya Amangkurat I kepada Tumenggung Martalaya selanjutnya Jenazah Amangkurat I dibawa Tumenggung Martalaya ke negeri Tegal dan Pangeran Adipati Anom mengiringi jenazah Raja sampai di Astana Tegal, dekat Bumiwangi (Tegalwangi). Tidak lama kemudian tanggal 13 Juli 1677, jenazah Raja dimakamkan (Babad Tanah Jawa, buku III, 2004 Amanah-Lontar).
Selanjutnya tabaruk malam itu mencoba mereka reka tentang kisah hidup dari pada Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah namun baik Mas Ngabei Irkham Reksopoko, Mas Ngabei Nuril Iman Rekso Samekto maupun Mas Maman Firmansyah menyatakan belum mau menyampaikan riwayat tentang sejarah dari pada Syech Samsudin atau Kyai Lembah Manah karena sumber yang mendekati sahih sebagai fakta sejarah belum saatnya disampaikan padahal menurut penulis sejarah tersebut sangat penting untuk diungkap karena keberadaan beliau hingga menjadi guru utama Prabu Amangkurat Agung serta ihkwal beliau memilih tlatah Tegal Wangi atau Tegal Arum sampai akhir hayatnya adalah sebuah labirin yang menarik untuk dikupas namun demikian karena belum saatnya maka penulis bisa sedikit memulai mengumpulkan susunan puzle misteri sejarah tersebut dengan memulai tentang sejarah Tegal sendiri secara umum yang dikutip dari tulisan yang sudah beredar menurut Wikipedia maka nama Tegal berasal dari nama Tetegal, tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian. Sumber lain menyatakan, nama Tegal dipercaya berasal dari kata Teteguall. Sebutan yang diberikan seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pires yang singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500–an, selanjutnya pada tanggal 18 Mei 1601 Panembahan Senopati mengangkat Ki Gede Sebayu menjadi Juru Demung (Penguasa Lokal di Tlatah Tegal) dengan pangkat Tumenggung setingkat Bupati. Peristiwa inilah yang merupakan berdirinya Kabupaten Tegal pada tanggal 18 Mei 1601, bertolak dari kisah ini semoga pada episode selanjutnya penulis dapat memungut serpihan serpihan lain yang terserak sehingga bisa terhimpun untuk menjadi pintu masuk untuk tercapai kesadaran sejarah dalam rangka menegasikan histiografi kolonial dengan memperolah hasil yaitu sebuah cakrawala optik alternatif dalam penulisan sejarah sehingga dapat memupus mata rantai The Mentaling Legacy yang masih akut mendera masyarakat kita yang sengaja diciptakan oleh kolonialisme selama berabad abad.
Padahal bangsa kita sudah merdeka bung..!!
Namun nampaknya kita sendiri belum sepenuhnya merdeka..!!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Wallahualam Bissawab
"Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sebenarnya"
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
· Tulisan ini adalah ikhtiar menjaring debu yang bertebaran di udara yang mungkin jauh dari keshahihan, karena hanya DIA yang mengetahui segalanya. Apabila ada kesalahan penulisan nama dan gelar, nama daerah, periodisasi maupun kutipan serta apabila ada kesamaan nama, setting ruang dan waktu serta adanya materi conten yang menimbulkan kontroversi dalam narasi penulisan ini maka penulis memohon maaf yang sebesar besarnya dan karena merupakan kehendak - Nya, penulis hanya mengilustrasikan dengan mencurahkan segala kebodohannya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semoga Bermanfaat
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Diramu dengan berbagai bumbu bacaan buku, wawancara mendalam dengan Mas Ngabei Irkham Reksopoko, Mas Ngabei Nuril Iman Rekso Samekto maupun Mas Maman Firmansyah selalu juru kunci makam dan kerabat yang sehari hari tinggal diarea sekitar makam Tegal Arum, serta diramu pula dengan meguru pada para maqomnya
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
** Penulis adalah tukang ngarit pakan kambing sehari hari tinggal di desa di Bantaran Kali Serang yang melintas di Tlatah Gagatan.
.
DAFTAR BACAAN
§ A. Jainuri : Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Kedua puluh. Surabaya: Bina Ilmu, 1981
§ Alya Salsabila - post April 20, 2015
§ Babad Tanah Jawa, buku III, 2004 Amanah-Lontar)
§ Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.
§ Colenbrander Geschiedenis van den
https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/32193
§ Dr. Abdul Hamid Al-Qudhah : “JASAD PARA SYUHADA TAK MEMBUSUK” penerbit Zam-Zam
§ Efendi : Politik Kolonial Belanda, Jurnal
§ F.W Stapel https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/32193
§ Geschiedenis van Nederlandsch Oost-Indie karya (2016) https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/32193
§ H.Aqib Suminto : Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985.Historiografi di Indonesia : Dari Magis Religius hingga Strukturis (2009)
§ H.J. de Graaf : De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal - Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677: PT. Grafiti Pres (1961 dan 1985)
§ Indischen Archipel https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/32193
§ Kartodirdjo : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 : Dari Emporium Sampai Imperium, Yogyakarta : Ombak, 2014.
§ Kitab At-targhib wat Tarhib,I:181.No.24)
§ Kitab Usfuriyah : Kisah-kisah Hikmah dari Lektur Pesantren
§ Kuntowijoyo : Metodologi Sejarah, Yogyakarta Tiara Wacana 1994
§ Koloniale Geschiedenis.https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/32193
§ Merle C. Ricklefs : War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/32193.
§ Soemarsaid Moertono : State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (1968) https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/32193
§ Taufik Abdullah : Historiografi
§ Thomas Stamford Raffles : The History of Java, Narasi, 2017
§ Van Goens De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654 (1956). Jakarta: Pustaka Jaya, 1980)
§ https: //apps.detik.com /detik
§ www. Wikipidia.com
0 Komentar