Sirah Maqosidana Panembahan Agung Kajoran Klaten




HARIANMERDEKA.ID|Klaten,

Oleh : @ Sofyan Mohammad**

................................................................................


Akan terjadi seperti ini, Adipati Anom! 

Engkau memberiku jari tanganmu


Telah ada di dalam mulutku dan hingga seluruh kaki dan tanganmu


Akan kutelan, kau dan seluruh kepunyaanmu dan Jawa jadi milikku !


(Zoo zal het zijn, kroonprins Anoem! 

Gy hebt my uw vinger geboden


Vast heb ik dien in den mond, en tot uw uitersten teenen


Zal ‘k u verslinden, u en al de uwen—en Java is mijner!) **


-------------------------------------------------------------------------

Dari berbagai catatan yang sudah tersebar luas yang dihubungkan dengan kisah yang terus diriwayatkan maka dapat disimpulkan jika Trah Kajoran Klaten adalah silsilah keluarga yang sangat disegani sejak era Kasultanan Pajang (1581–1587) hingga berlanjut pada Kerajaan Mataram Islam bahkan sejak era Kasultanan Demak Bintoro (1478/1481 -1554).


Sebagai Trah kuat maka  Kajoran diawali dari sosok tokoh utama yaitu Panembahan Agung Kajoran meskipun tidak pernah tercatat telah mendirikan sebuah kerajaan sendiri namun eksitensinya selalu terhubung dan berkait erat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan pusat kekuasaan sejak era Demak, Pajang hingga Mataram Islam Kotagede, Kerto hingga Plered melalui relasi nasab dengan sistem perkawinan anak turun.



Bagi orang Jawa maka ada jargon “Aja nganti kepaten obor” (jangan sampai apinya padam), sehingga istilah ini menjadi bagian budaya bagi orang Jawa untuk berusaha melestarikan trah leluhur mereka yang diperkuat dengan spirit "mendem jero mikul duwur"/ mengubur dalam dalam segala aib  dan mengangkat setinggi tingginya harkat dan martabat leluhur.


Nasab atau jalur silsilah keluarga bagi orang Jawa khususnya menjadi cukup penting mengingat nasab berfungsi sebagai alat pengikat dari masing - masing anggota keluarga dengan ikatan abadi yang dihubungkan melalui dasar kesatuan darah antara satu dengan lainnya.


Trah atau silsilah nasab adalah untuk mengetahui kejelasan identitas seseorang, sehingga terkait hal ini maka sampai ada bidang ilmu tersendiri yang khusus memelajari nasab (‘Ilm al-Ansaab) yang bertujuan untuk mencegah dari kesalahan dalam menyebut nasab seseorang.


Trah terkait dengan induk yang disebut dengan keluarga yang merupakan tempat di mana setiap orang kembali ketika mereka menemui kesulitan, pengenalan silsilah keluarga adalah untuk membuka cakrawala pengetahuan tentang nilai-nilai hidup maupun tradisi dalam sebuah wangsa, yang mana nilai tersebut dapat dicerna dan diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari hari agar kehidupan seseorang menjadi lebih terarah




Dalam budaya Jawa maka ada istilah silsilah keturunan kebawah maupun silsilah leluhur ke atas yang disebut dengan trah yang tiap level susunan memiliki nama sendiri sendiri untuk urutan keatas terdiri dari :

Moyang ke-18. Eyang Trah Tumerah

Moyang ke-17. Eyang Menya-menya

Moyang ke-16. Eyang Menyaman

Moyang ke-15. Eyang Ampleng

Moyang ke-14. Eyang Cumpleng

Moyang ke-13. Eyang Giyeng

Moyang ke-12. Eyang Cendheng

Moyang ke-11. Eyang Gropak Waton

Moyang ke-10. Eyang Galih Asem

Moyang ke-9.Eyang Debog Bosok

Moyang ke-8. Eyang Gropak Senthe

Moyang ke-7. Eyang Gantung Siwur

Moyang ke-6. Eyang Udheg-udheg

Moyang ke-5. Eyang Wareng

Moyang ke-4. Eyang Canggah

Moyang ke-3. Eyang Buyut

Moyang ke-2. Eyang (kakek dan nenek)

Moyang ke-1. Bapak / ibu


Sedangkan untuk nama dalam urutan ke bawah adalah :

Keturunan ke-1. Anak

Keturunan ke-2. Putu (cucu)

Keturunan ke-3. Buyut (cicit)

Keturunan ke-4. Canggah

Keturunan ke-5. Wareng

Keturunan ke-6. Udhek-udhek

Keturunan ke-7. Gantung siwur

Keturunan ke-8. Gropak Senthe

Keturunan ke-9. Debog Bosok

Keturunan ke-10. Galih Asem

Keturunan ke-11. Gropak waton

Keturunan ke-12. Cendheng

Keturunan ke-13. Giyeng

Keturunan ke-14. Cumpleng

Keturunan ke-15. Ampleng

Keturunan ke-16. Menyaman

Keturunan ke-17. Menya-menya

Keturunan ke-18. Trah tumerah.


Terkait dengan Trah Kajoran Klaten konon dikisahkan secara geneologi Trah Kajoran menurut catatan yang ditulis oleh Raden Ayu Lina (share Ranji FB) yang berjudul "Silsilah Panembahan Agung Kajoran / Mbah Agung Makam Ing Wedi Klaten, Cikal Bakal Wangsa Besar Kajoran di Seluruh Pulau Jawa", yang relevan pula dengan Serat Candrakanta maka disebutkan sebagai berikut :

Nabi Muhammad SAW - Sayyidah Fathimah Az-Zahra -  Al-Imam Sayyidina Hussan - Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin - Sayyidina Muhammad Al Baqir - Sayyidina Ja’far As-Sodiq - Sayyid Al-Imam Ali Uradhi - Sayyid Muhammad An-Naqib - Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi - Ahmad al-Muhajir - Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah -  Sayyid Alawi Awwal -  Sayyid Muhammad - Sohibus Saumi’ah - Sayyid Alawi Ats-Tsani - Sayyid Ali Kholi’ Qosim - Muhammad Sohib Mirbath - Sayyid Alawi Ammil Faqih - Al Imam Abdul Malik Azmatkhan - Sayyid Abdullah Azmatkhan - Sayyid Ahmad Shah Jalal - Sayyid Syaikh Jumadil Qubro al-Husaini - Syeikh Maulana Malik Ibrahim Asmara - Syeikh Maulana Malik Ibrahim Asmara - Syeikh Ngampel Denta Surabaya - Syeikh Kambyah / Pangeran Tumapel /Pangeran Lamongan - Sayyid Kalkum Wotgaleh / Pangeran Wotgaleh - Panembahan Agung Kajoran / Pangeran Maulana Mas Ing Kajoran / Mbah Agung Panembahan Agung Kajoran 


Dalam Babad Cirebon maupun naskah kuno di Cirebon disebutkan jika Panembahan Agung Kajoran adalah cikal bakal seluruh wangsa Kajoran di Pulau Jawa, disebutkan beliau menikah dengan 2 Putri Sunan Pandanaran II /

Sunan Tembayat yaitu Nyai Ageng Panembahan Agung dan Nyai Ageng Biting (bekas janda Ki Ageng Biting dari Pajang ).


Dalam Sajarah Banten terkait Trah Kajoran menyebutkan Prabu Brawijaya V/ Bre Kertabumi memiliki keturunan yang bernama Lembu Peteng yang selamat dari penyerbuan Demak karena diangkat anak oleh seorang tandha (pegawai niaga) di Demak Bintoro, semantara dalam Babad Tanah Jawi menyebutkan Lembu Peteng atau Raden Bondan Kejawan merupakan leluhur penguasa Mataram Panembahan Senopati (1576-1603) melalui garis Ki Ageng Selo yang masyur dalam cerita-cerita Jawa tentang kesaktiannya menangkap petir.


Dalam buku silsilah yang disusun oleh Wiryatmo Adiwijoyo (Trah Internal Kajoran) menyebutkan Trah Kajoran berasal dari Panembahan Bathoro Katong, penguasa Ponorogo dan jika ditarik keatas lagi masih juga keturunan Brawijaya V sedangkan pendiri Trah Kajoran adalah Pangeran Molana Mas yang kemudian dikenal dengan nama Panembahan Agung ing Kajoran.


Karena silsilah Kajoran yang terhubung sampai Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan terhubung pula dengan Prabu Brawijaya V sebagaimana tersebut dalam berbagai catatan tersebut diatas maka bagi yang skeptis dan sudah terlanjur terpola dengan sudut pandang Kolonialisme tentu menyebut sebagai "post factum" ketika ada narasi yang menyebut seseorang sebagai keturunan penguasa apalagi hingga Nabi Muhammad SAW atau Prabu Majapahit, merupakan upaya menunjukkan legitimasi politik dan status sosial, namun yang tidak diragukan lagi keshahihnya adalah Panembahan Agung Kajoran berdasarkan berbagai catatan memang berasal dari Trah yang luhur dan mulia setidaknya bagi orang Jawa atau umat muslimin Nusantara.


Trah Kajoran selanjutnya berkembang melalui relasi nasab dalam bentuk pernikahan yang disebutkan jika Putra Prabuwijaya Pajang (Pangeran Benowo) yang bernama Pangeran Sinduseno telah menikah dengan putri Panembahan Agung Kajoran atau dalam Tus Pajang disebutkan putra Prabuwijaya itu bernama Pangeran Masdan putranya yang bernama Panembahan Raden telah menikah dengan Raden Ayu Pangeran Raden yang merupakan putri Pangeran Raden ing Kajoran dengan Raden Ayu Wongsocipto yang adalah putri Panembahan Senopati.


Dalam silsilah Kajoran, Raden Ayu Pangeran Raden merupakan kakak perempuan pertama Panembahan Romo, dengan demikian Panembahan Romo merupakan cucu Panembahan Senopati.


Dikisahkan jika Panembahan Romo pada era itu dianggap sosok yang sangat penting di dalam Kraton Mataram, karena paman Panembahan Romo yaitu Pangeran Adipati Joyorogo merupakan putra Panembahan Senopati dari putri kedua Panembahan Agung Kajoran. 


Relasi nasab melalui pernikahan masih diteruskan oleh Susuhunan Amangkurat Agung dan keturunannya, karena beliau telah menikahi seorang putri dari Kajoran sebagai selirnya. Dalam Tus Pajang menyebutkan salah satu menantu Susuhunan Amangkurat Agung yaitu Pangeran Adipati Wiromenggolo juga berasal dari Trah Kajoran yang merupakan putra Pangeran Arya Wiromenggolo, seorang pangeran berdarah Kajoran-Pajang.


Ikatan Kajoran - Mataram makin menguat karena saudara Susuhunan Amangkurat Agung yaitu Adipati Purboyo III juga menikah dengan putri Panembahan Raden dalam hal ini de Graaf menyebut bahwa “wangsa Purbaya mempunyai istri dari Kajoran (dan) seolah-olah merupakan jembatan dari Kajoran dengan raja-raja Mataram” (H.J de Graaf1987/88:7)


Hubungan dengan wangsa Purboyo ini juga membuat Panembahan Romo semakin diperhitungkan karena Panembahan Purboyo II menikah dengan kakak perempuan Panembahan Romo, sementara putranya yaitu Pangeran Tumenggung Mataram (Purboyo IV), menjadi menantu Panembahan Romo.


Dikisahkan Pangeran Purboyo ke II dan ke IV yang merupakan keturunan Purboyo I juga menikah dengan adik perempuan Pangeran Raden, karena itu Panembahan Romo menurut silsilah memang keponakan Purboyo I.


Pangeran Purboyo I dinyatakan sebagai putra Panembahan Senopati dari putri keluarga Kyai Ageng Giring, dengan demikian ikatan antara Kajoran, Giring dan Tembayat menjadi erat, hal ini menjadi cukup alasan kuat jika Trah Kajoran sangat dihormati di dalam lingkaran Keraton Mataram pada saat itu. Terjadinya persilangan Trah Kajoran, Tembayat dan Giring dikisahkan juga telah memainkan peranannya masing -masing dalam dinamika politik di Mataram kala itu.


Demikian dikisahkan jika anak Susuhunan Amangkurat Agung yaitu Pangeran Puger (kelak Sunan Pakubuwono I, bertahta 1704-1719) juga menikahi putri dari Kajoran (keponakan Panembahan Romo), demikian Pangeran Puger sendiri juga juga mempunyai darah Kajoran.


Adipati Joyorogo adalah penguasa Ponorogo yang dikisahkan sebagai  Trah Kajoran pertama yang memberontak pada tahun 1608 terhadap Mataram dimasa Panembahan Hanyokrowati (1601-1613), karena hal tersebut pada akhirnya Adipati Joyorogo harus dibuang ke pulau Nungsa Barambang atau Nusakambangan pada saat ini.


Dalam Babad Alit menyebutkan jika pada masa Susuhunan Amangkurat Agung maka Trah Kajoran membantu Trunajaya menyerang Kedhaton Mataram di Plered, karena itu putra Panembahan Romo yaitu Pangeran Adipati  Wiramenggala dihukum mati oleh Susuhunan Amangkurat Agung karena hal tersebut maka Panembahan Rama Kajoran mulai terang terangan membantu Raden Trunojoyo melakukan  pemberontakan kepada Plered yang pada saat itu sudah mulai melibatkan Kompeni Belanda.


Diriwayatkan setelah melalui berbagai rangkaian peperangan yang dramatis hingga Kraton Plered runtuh pada 28 Juni 1677 maka ada sekitar 20-25 ribu pasukan Jawa dan hanya 6-7 ratusan pasukan Madura berada di Mataram dengan demikian orang-orang Jawa dibawah trah Kajoran lebih banyak menguasai Mataram, meskipun Panembahan Rama sendiri justru kembali ke Tembayat Klaten waktu itu, demikian orang-orang Madura juga bergegas pulang ke Madura dengan membawa barang rampasan yang banyak (barang berharga, uang senilai 350 ribu rial serta putri dan abdi wanita yang cantik).


Runtuhnya Kedathon Plered telah menyisakan beban bagi Adipati Anom (Amangkurat II) terlebih kekalahannya di Gegodog dan lolosnya Panembahan Romo membuat kalangan Istana, terutama kerabat Ndalem Kraton justru mencurigainya yang dianggap telah melakukan persekongkolan jahat dengan Raden Trunojoyo melalui Panembahan Romo, karena hal tersebut selanjutnya Amangkurat II bersama sama dengan Belanda melakukan perburuan yang dramatis terhadap Raden Trunojoyo maupun terhadap Panembahan Rama Kajoran yang kemudian tercatat keduanya berhasil dilumpuhkan.


Selepas kematian Raden Trunojoyo dan Panembahan Romo maka Raden Kartonadi dan Raden Kartonagoro (keponakan dan anak Panembahan Romo) selaku penerus yang memimpin pasukan Kajoran harus mendapati kenyataan pahit bahwa Pangeran Puger juga telah menyerah dan kembali kepada Sunan Amangkurat II pada 17 November 1681.


Raden Kartonadi dan Raden Kartonagoro juga menghadapi kenyataan pahit lagi karena para pendukung lain telah dilumpuhkan demikian dukungan dari Tembayat juga telah dilumpuhkan oleh pasukan susuhunan dan kumpeni sejak Oktober 1980.


Pendukung lain yaitu pasukan Kyai Wonokusumo sebagai Trah Ki Ageng Giring yang sejak awal mendukung gerakan Panembahan Romo dengan kepentingan yaitu menginginkan seseorang dari trahnya yaitu Raden Mas Sutodito sebagai penguasa juga sudah dapat dilumpuhkan oleh Sunan Amangkurat II dan Pasukan Kompeni

di gunung kidul pada November 1683, sedangkan Raden Mas Sutodito sendiri terbunuh di alun-alun Kartasura pada saat menyerbu Keraton baru Amangkurat II itu pada 18 Februari 1682 


Selama lebih 6 tahun pergolakan yang telah terjadi pada mulanya mungkin Panembahan Romo tidak menyadari bahwa sekalipun mampu menghancurkan Mataram, usahanya nampak sia-sia meski demikian Panembahan Romo telah menempatkan Trah Kajoran sebagai pelopor dan menjadi sosok sentral  yang paling berpengaruh sehingga perannya mampu mengubah narasi sejarah Mataram dikemudian hari.


Terkait dengan hal itu maka secara ringkas Babad Cirebon secara simbolik menyebutkan Kajoran terdiri dari orang orang muslim saleh yang “bertapa menantang matahari”


Dalam sebuah piagem yang dikeluarkan Sultan Agung pada tahun 1641 Panembahan Rama Ing Kajoran namanya disebut sebagai salah satu sosok penting di istana Mataram kemudian dalam Serat Centhini yang ditulis pada 1823 menulis Panembahan Romo dari Trah Kajoran sebagai ulama yang kharismatik dan penuh kasih saat Mas Cebolang dalam laku pengembaraannya datang bertamu kepadanya.


Selanjutnya dapat pula kita lihat sudut pandang penyair (bukan sejarawan) Belanda terkait dengan Trah Kajoran maka dapat kita cermati dalam penggalan syair Willem Jacob Hofdijk dalam In’t harte van Java yang terbit pada 1881 yang liriknya sebagaimana dalam narasi pembuka diatas maka dari situ dapat memberi gambaran tentang Panembahan Rama Ing Kajoran adalah sosok yang memiliki pengaruh sangat kuat semasa hidupnya.


Penyair Belanda tersebut memiliki pandangan jika Trah Kajoran dianggap memiliki pengaruh besar di tanah Jawa, akan tetapi oleh penulis yang memiliki misi kolonialisme (histiografi kolonialime) justru membuat narasi jika Panembahan Romo dari Trah Kajoran adalah sosok yang buruk seperti dapat dilihat dalam Hikajat Tanah Hindia karya G.J.F Biegman menyebutnya sebagai “…kepala (pimpinan) orang jang doerhaka…”. Tetapi orang Jawa (tengah -selatan) tetap menghormatinya. 


Catatan orang Belanda yang buruk dimungkinkan sejak keterlambatan mereka menyadari betapa pentingnya para tokoh yang berasal dari Trah Kajoran, hingga Duta VOC untuk Mataram yaitu Rijkloff van Goens, tidak pernah menyebut nama tokoh ini, karena dalam Javaense Reise yang ditulis Rijkloff van Goens bersama Vincent Caimax dan Nicolaes de Vries, van Goens lebih banyak menyebut nama “Pangoran Porbaya” (Pangeran Purboyo).


Dua puluh satu tahun setelah van Goens menuliskan catatan perjalanannya pada 1656 ke istana Mataram, terjadilah kisah tragis pada akhir Juni 1677 yaitu sewaktu Laksamana Speelman melayari laut Jawa dan menggempur Surabaya sejak April 1677 atas perjanjian Kumpeni dengan Amangkurat Agung untuk menaklukkan para pembangkang Madura dan berhasil, tiba tiba terdengar berita mengejutkan Plered, ibukota Mataram yang megah dan penuh kanal air serta bendungan itu telah jatuh dan runtuh.


Speelman yang mampu mengusir orang-orang Madura dibawah Raden Trunojoyo ke Kediri tidak yakin pasukan Madura mampu menaklukkan pusat kuasa Mataram, lalu sayup-sayup mulai terdengar nama yang ikut terlibat dalam penghancuran Plered, yang mungkin asing bagi telinga Kumpeni yaitu Raden Kajoran atau Panembahan Rama Ing Kajoran yang dianggap menggerakkan seluruh anggota klan-nya dalam jaringan kyai - Santri melawan otoritas Plered dan nampaknya usaha tersebut nyaris berhasil secara sempurna.


Bertolak dari hal itulah kemudian kumpeni mulai menyadari adanya pengaruh besar dari Trah Kajoran melalui peran tokoh Panembahan Rama Ing Kajoran, barang kali sejak itulah Kompeni Belanda lantas membuat narasi dengan menciptakan streotip yang buruk terhadap Panembahan Rama Ing Kajoran. Para penulis Belanda selanjutnya menulis dengan mendeskreditkan sosok Panembahan Rama Ing Kajoran dengan narasi sesuai dengan kepentingannya saja bahkan kemudian nyaris penyebaran dan pengaruh kuat Trah Kajoran tidak ditampilkan dalam bentuk penulisan yang obyektif dan berimbang.


Pada saat ini sosok penting dari Trah Kajoran yaitu Panembahan Agung Kajoran dan Panembahan Rama telah beristirahat dengan tenang di alam kalanggengan yang jasad wadahnya beristirahat di bumi Kajoran.


Pusara makam Panembahan Agung Kajoran terletak dalam satu bangunan rumah berarsitektur joglo dengan dinding tembok yang kokoh didepannya berdiri bangunan gapura paduksa sebagai pintu masuk dengan ukuran pintu yang didesain dengan ukuran pendek sehingga setiap peziarah harus menundukan kepala ketika memasuki pintu gapura tersebut.


Didalam bangunan setelah teras tempat juru kunci makam menerima tamu maka dalam bangunan utama terdapat beberapa nisan makam yaitu pusara Panembahan Raden sekalian, Pangeran Mas Sekalian, Pangeran Raden, Pangeran Agus, Pangeran Suroto dan

Pangeran Singosari 


Pada bagian ujung ruangan terdapat bangunan tajuk berukuran sekitar 2,5 m x 2,5 m yang berdinding kayu jati, untuk dapat memasuki ruangan tersebut maka harus melewati undakan bertangga sebanyak tiga trap. 


Didalam bangunan tajuk tersebut adalah pusara dari pada Panembahan Agung Kajoran atau Pangeran Maulana Mas yang jirat pusaranya terbuat dari batu andesit yang dibungkus dengan kain putih bersih yang di hijabi dengan kelambu kain berwarna putih, ditengah tengah pusara terdapat daun daun bunga yang beraroma sangat harum, sehingga seketika kita memasuki tajuk tersebut maka langsung tercipta suasana yang profan nan keramat. 


Makam Panembahan Agung Kajoran terletak diarea pemakaman persis berada dibelakang Masjid Kauman Kajoran yang terletak di Dusun Kauman, Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes, Kabupaten Klaten. Masjid ini merupakan salah satu peninggalan yang tersisa dari sebuah Trah yang menempati perdikan Kajoran, arsitektur Masjid Kajoran memiliki kepakeman dengan arsitektur masjid kuno lainnya,  berdenah empat persegi panjang yang terdiri atas ruang utama, dengan tiang penyangga sebanyak 16 tiang kayu jati glondongan untuk menopang blandar dan pengkeret kayu jati yang kokoh, kemudian ada ruang  pawestren dan ruah serambi masjid.


Diluar sebelum memasuki serambi masjid maka di sebelah utara, timur dan selatan masjid terdapat parit keliling yang cukup lebar yang dibagian tengah atasnya dipasang bordes besi sebagai jembatan penyeberangan masuk ke serambi masjid.


Berziaroh ke Makam Panembahan Agung Kajoran sekaligus berkunjung ke masjid ini adalah oase bagi batin yang dahaga karena kita akan disuguhi dengan dimensi sejarah di balik semua lenskap bangunan peninggalan arkeologi masa kerajaan Islam yang masih lestari sebagai monumen sejarah kehidupan masa lalu sebelum kita.


Sedangkan makam dari pada Panembahan Rama Kajoran terletak di Dusun III, Jimbung, Kec. Kalikotes, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang tidak begitu jauh dari makam Panembahan Agung Kajoran hanya sekitar 5 menit perjalanan menggunakan kendaraan   


Makam Panembahan Rama terdapat di kompleks makam yang dikelilingi dengan tembok. Kompleks makam terdiri atas satu cungkup utama tempat Panembahan Rama dan para kerabatnya dimakamkan. Cungkup utama dikelilingi tembok keliling dengan pintu gerbang sebagai pintu masuk diluar cungkup utama terdapat makam untuk umum yang merupakan keturunan Panembahan Rama Ambalik.


Di sebelah makam terdapat batu Gilang serta sebuah sendang yang digunakan untuk pemandian, konon dikisahkan air sendang tersebut dipercayai sebagai air yang keramat dan mujarab untuk pengobatan sehingga pada malam jumat sendang tersebut sering digunakan untuk “tapa kungkum”. Keadaan sendang ini cukup bersih serta terawat dan nampaknya pada siang hari air sendang tersebut digunakan pula oleh masyarakat sekitar.


Dengan berziaroh kemakam Panembahan Agung Kajoran dan Panembahan Romo Ambalik di Kajoran Klaten maka adalah bagian proses ritualitas diri untuk meneguhkan komitmen kita sebagai hamba agar dapat mengingat segala kebesaran Sang Pencipta Tuhan Seru Sekalian Alam melalui wasilah hamba yang telah menjadi Kekasih - Nya. Segala kisah hidup yang ditorehkan oleh ahli kubur tersebut adalah cakrawala bagi kita untuk  mengingatkan asal muasal kita dan kepada siapa kita akan kembali.


Semoga Allah SWT memberikan Ridlo


Lahal Fatihah


---------------------------------------------------------------------

Klaten, 12/11/2021


--------------------------------------------------------------------------

Al Alim

Allah SWT mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi di seluruh alam semesta ini, baik perbuatan yang bisa dilihat oleh mata ataupun yang hanya ada dalam hati dan pikiran manusia


Semoga Bermanfaat

--------------------------------------------------------------------------

* Tulisan ini adalah ikhtiar menjaring debu yang bertebaran di udara yang mungkin jauh dari keshahihan, karena hanya Allah SWT yang mengetahui segalanya.

Apabila terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan ini maka penulis memohon maaf kepada para pembaca yang budiman sekalian, karena penulis hanya mencurahkan segala kebodohannya.


**Penggalan syair Willem Jacob Hofdijk dalam

    In’t harte van Java yang terbit pada 1881


------------------------------------------------------------------------

Diolah dari wawancara dengan : 

- Juru Kunci Makam

- Masyarakat sekitar

- Sejarawan terkait


BACAAN 

- Sejarah Banten Membangun Tradisi dan

  Peradaban, Nina H Lubis Dkk, Badan

  Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi

  Banten, 2014.

- Serat Candrakanta,  Radyapustaka Juru

  Pangripta Ngabèhi Wirapustaka,  Albert

  Rusche & Co. Soerakarta,1901.

- Tus Pajang / naskah asli ditulis oleh R.

  Sasrasumarta, R. Sastrawaluya, R. Ng.

  Yasapuraya, editor Yayasan Sastra Lestari,

  2012

- Sumahatmaka, R.M.A, Ringkasan Centini

   (Suluk Tambanglaras), PN Balai Pustaka,

   Cetakan pertama, 1981

- Hikayat Tanah Hindia : Sejarah Hindia Belanda

   dari Zaman Pra-Hindu Hingga Abad ke-19,

   G.J.F. Bergman, Octopus, 2002.

- Wikipedia

-  https://historia-id

-  http://senandika.web.id/panembahan

   romo-sang-ambalik/

-  Sarasilah/Trah Kajoran” (1926) satu catatan

   yang dibuat oleh keturunan Kajoran sendiri,

   Wiryatmo Adiwijoyo


.......................................

Lokasi Makam GPS :

https://maps.app.goo.gl/PqhBeRgrgucbeBKf9

.......................................

@ Penulis adalah pehobi ziarah kuburan sehari ngarit pakan kambing didesa.

0 Komentar

close