Sirah Maqosidana Sambung Ruh Ulama Nusantara Kanjeng Sunan Kathong

 











Oleh : @ Sofyan Mohammad **

------------------------------------------------------------------

HARIANMERDEKA.ID|Kaliwungu - Kendal Jawa Tengah, Dalam beberapa cerita maupun tulisan yang sudah tersebar luas diriwayatkan dahulu Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Wilwatikto atau Majapahit memiliki seorang garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya) yaitu putri cina yang bernama Siu Ban Ci yang sudah beragama Islam karena merupakan anak dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat) yang kemudian melahirkan beberapa anak seperti Reden Patah atau Panembahan Jimbun yang kelak ketika menjadi Sultan di Demak Bintoro  bergelar Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah.

Senapati Jimbun Ningrat Abdurrahman nama lain Reden Patah memerintah kasultanan Demak sejak  tahun 1478 hingga 1518, setelah beliau mangkat maka Tahta Demak diteruskan oleh menantunya yang bernama Raden Abdul Qodir atau Adipati bin Yunus sebagai Sultan Demak kedua yang bergelar Sultan Alam Akbar At-Tsaniy yang kelak setelah gugur di Malaka di kenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor, beliau memerintah selama tiga tahun dari tahun 1518 hingga 1521.



Sebagaimana Raden Patah maka Bathara Kathong juga merupakan putra dari Prabu Brawijaya V dengan Putri Cina Siu Ban Ci sehingga keduanya bersaudara seayah dan seibu. Bathara Kathong sendiri semasa kecil bernama Raden Joko Piturun atau Lembu Kanigoro dan setelah menikah memiliki seorang putri yang dinikahi oleh Pangeran Sabrang Lor atau Yat Sun sebagai istri selir yang kemudian melahirkan anak yaitu Raden Kathong yang merupakan nama keluarga atau "nunggak semi" dari nama kakeknya yaitu Bathara Kathong Adipati Ponorogo.



Dalam riwayat yang ditulis dalam berbagai babad maka sepeninggal Pangeran Sabrang Lor dalam ekspedisi ke 2 di Malaka maka Tahta Demak diteruskan oleh Sultan Trenggono yang merupakan anak kandung Raden Patah  sementara Raden Kathong yang notabenenya putra Pati Unus ebih memilih untuk tidak ikut terlibat dalam suksesi sebab sejak kecil sudah dididik untuk dipersiapkan sebagai ulama dan mubaligh bukan sebagai seorang yang dipersiapkan untuk menjadi Umaro.

Selain dari pada itu Raden Kathong merupakan anak dari ibu selir putri Bathara Kathong Ponorogo yang bukan bernasab langsung pada Sultan Patah sehingga dianggap tidak memiliki kompetensi langsung untuk dapat menduduki Tahta Demak yang konon dikisahkan pada saat itu penuh dengan berbagai intrik dan konflik politik termasuk diantaranya disebutkan konflik perebutan tahta antara kedua anak kandung Sultan Patah yaitu Raden Kikin dengan Raden Trenggana, dengan kisah yang dilanjutkan tentang aksi dramatis Putra Sultan Trenggono bernama Raden Mukmin (Sunan Prawoto) yang nekat membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus, sejak itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").

Pangeran Sekar Seda Ing Lepen memiliki putra legendaris yang bernama Raden Arya Penangsang penguasa Jipang Panolan yang menorehkan kisah dramatis tentang perseteruanya dengan Sultan Hadiwijoyo yang melibatkan Pangeran Lor Ing Pasar atau Danang Sutowijoyo dalam insiden duel penuh taktik di sungai Bengawan sore yang justru menewaskan Raden Arya Penangsang sendiri.

Terkait carut marut konflik perebutan tahta Demak maka Raden Kathong setelah dianggap cukup untuk menjadi mubaligh di perintah oleh Kakeknya yaitu Bathara Kathong agar ikut membantu Sunan Pandanaran I seorang Bupati Semarang (ayah Sunan Pandanaran II atau Sunan Bayat) untuk ikut menyebarkan dan mendakwahkan Islam di wilayah Semarang.



Dalam tulisan fahmiali- wordpress.com maka antara Kyai Kathong dan Ki Ageng Pandanaran I adalah saudara sama sama putera Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, namun beda ibu karena Sunan Pandanaran I merupakan anak dari Ibu Made Pandanaran yang merupakan puteri dari Adipati Urawan di Madiun, sedangkan Raden Kathong putera dari ibu yang merupakan Puteri dari Bhatara Kathong Ponorogo.

Di kisahkan setelah Raden Kathong bertemu Sunan Pandanaran I maka mendapatkan petunjuk untuk berdakwah kearah barat hingga menemukan adanya pohon yang daunnya berwarna ungu dan batangnya condong ke sungai, demi mendapatkan perintah tersebut maka Raden Kathong atau Kyai Kathong langsung melakukan perjalanan ke arah barat hingga sampailah di sungai "Sarean" yang di salah satu tepiannya ternyata ada pohon dengan daun berwarna ungu yang batangnya menjuntai ke sungai sehingga air sungai tampak berwarna ungu, melihat hal tersebut maka Raden Kathong langsung melakukan tetirah di bawah pohon tersebut untuk dapat meneguhkan keyakinannya jika tempat tersebut telah sesuai dan tepat untuk menjadi daerah guna mensyiarkan Agama Islam, lantas daerah tersebut oleh Kyai Kathong diberi nama "Kaliwungu" yang berarti sungai berwarna ungu, dengan demikian Kyai Kathong diyakini adalah salah seorang cikal bakal babad alas daerah Kaliwungu sekarang yang selanjutnya di kenal dengan nama Sunan Kathong, setidaknya ini adalah salah satu versi diantara beberapa versi.

Dalam berbagai literasi yang dapat dihimpun maka diperoleh cerita jika pada saat itu disekitar Kaliwungu sudah ada beberapa tokoh yang hidup dan menguasai berbagai daerah yang mana diceritakan suatu ketika Sunan Kathong dan rombongannya termasuk diantaranya adalah Wali Joko dan Kyai Gembyang hendak menyebarkan Islam di daerah yang dulu disebut Pegunungan Penjor atau Pegunungan Telapak Kuntul Melayang 

Tidak jauh dari wilayah tersebut konon ada seorang tokoh Hindu yang menghambat dakwah yang akan dilakukan oleh Sunan Kathong dan tokoh tersebut bernama Suramenggala atau Empu Pakuwojo seorang pembuat keris pusaka yang digambarkan sebagai orang sakti mandraguna yang dulunya merupakan petinggi kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit.

Dikisahkan Sunan Kathong dan Empu Pakuwojo saling bersitegang dan bersaing, kemudian Pakuwojo sesumbar jika Sunan Kathong mampu mengalahkannya, maka dirinya bersedia memeluk Islam dan menjadi murid dari pada Sunan Kathong, karena hal tersebut maka keduanya terlibat dalam pertarungan adu kesaktian yang pada akhirnya Pakuwojo dapat dikalahkan dan sempat bersembunyi di sebuah lubang kayu yang besar setelah berhasil ditemukan oleh Sunan Kathong maka Pakuwojo mau memenuhi janjinya menjadi Muslim dan menjadi santri Sunan Kathong yang setelahnya diriwayatkan ikut membantu berperan menyebarkan Islam yang berpusat di padepokannya yang berada di Perbukitan Sentir dan tinggal menetap di Desa Getas, Kecamatan Patebon, Kab. Kendal sosok yang sudah tobat dan tercerahkan ini kemudian dikenal dengan nama Pangeran Pakuwojo.



Terkait dengan hal tersebut maka muncul legenda yang menjadi kepercayaan masyarakat yang bersumber dari cerita run temurun yaitu  pohon yang dijadikan tempat persembunyian Pakuwojo tersebut bernama pohon Kendal hal inilah yang kemudian diyakini menjadi cikal bakal penamaan wilayah tersebut menjadi nama Kendal yang mana lokasi pohon tersebut hidup sekarang disebut dengan Desa Kendalsari.

Menurut buku Wali-Wali Mataram Kendal yang bersumber dari cerita run temurun masyarakat Kendal maka Sunan Kathong ketika menyebar luaskan Agama Islam di wilayah Kaliwungu - Kendal dilakukan dengan cara yang sangat bijaksana dan welas asih sehingga cepat memperoleh simpati dari masyarakat setempat, penyampaian dakwah Sunan Kathong dan para santrinya dilakukan melalui cara yang damai dengan mengedepankan prinsip mawidzatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran Islam melalui tutur bahasa yang santun. 

Sunan Kathong diyakini pada masa itu dapat menyampaikan ajaran Islam yang dikemas dengan sangat sederhana yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman masyarakat setempat melalui bentuk perlambang, kiasan, sanepo atau isyaroh sehingga secara berlahan ajaran Islam bisa masuk dan mengakar sebab disesuaikan dengan adat budaya dan kepercayaan penduduk setempat lewat proses asimilasi dan sinkretisasi.

Cara cara dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kathong terbukti sukses karena hingga kini daerah Kaliwungu Kendal dikenal sebagai kawasan Santri yang mana kebudayaan yang menyangkut aktifitas masyarakat sehari haripun telah menggambarkan kehidupan yang religius setidak tidaknya adalah potret kehidupan santri Nusantara, karena hal tersebut maka Kaliwungu - Kendal mendapatkan predikat sebagai Kota Santri.

Sebagai salah satu peletak dasar dakwah Islamiyah di bumi Kaliwungu Kendal maka Sunan Kathong juga meninggalkan berbagai ajaran dan amaliyah yang masih lestari karena sebagian besar masyarakat Kaliwungu - Kendal masih mengamalkannya hingga saat ini yaitu amalan shalawat macan putih yang lafalnya berbunyi la ilahaillallah al malikul haqqul mubin muhammad rasulullah shadiqul wa’dil amin.

Shalawat macan putih ini juga dikenal dengan nama shalawat atau dzikir di Kaliwungu yang biasanya dilafalkan setiap selesai adzan subuh sebelum melaksanakan sholat subuh, terkait dengan bunyi lafazd ini maka dalam kitab shalawat Irsyadul Ibad dijelaskan bahwa shalawat ini  dilafalkan 100x ketika shalat Subuh. Sholawat Macan Putih ini oleh sebagian masyarakat Kaliwungu dilafalkan pula pada saat tahlil warga setiap malam Jum’at, karena sholawat ini dipercaya untuk tolak bala’.

Selain warisan ajaran Amaliah secara lisan maka Sunan Kathong juga meninggalkan ajaran yang berupa tradisi blantenan dan khaul yang merupakan tradisi dan budaya Islam Jawa yang masih terpelihara hingga saat ini sebagai bentuk  penghormatan kepada para tokoh yang telah memberikan keteladanan yang baik bagi masyarakat.

Sunan Kathong Istiqomah mendidik masyarakat Kaliwungu - Kendal hingga akhir hayatnya dan setelah wafat maka beliau dimakamkan di Astana Kuntul Nglayang yang terletak di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Komplek makam ini berada dalam satu komplek dengan makam tokoh-tokoh Ulama besar Kaliwungu maupun makam para pembesar Mataram Islam yang tinggal di Kaliwungu semasa hidupnya maupun makam Priyagung lain yang masih memiliki hubungan dzuriah.

Menurut berbagai sumber maka Astana Kuntul Nglayang dalam lenskap tata letaknya ketika dilihat dari view atas akan menyerupai burung terbang kearah barat hal ini tentu menyimpan makna tersirat atau isyaroh yang mengandung ajaran yang luhur bagi generasi berikutnya.

Dalam denah komplek makam terlihat di bagian barat adalah makam para leluhur era Mataram Islam yaitu :

1. Panembahan Djoeminah Putri Panembahan Senopati Sutawijaya.

2. Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo I, Bupati Kaliwungu

3. Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo II, Bupati Kaliwungu

4. Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo III, Bupati Kaliwungu

5. Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo IV, Bupati Kaliwungu

6. Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Ronodiwiryo, Bupati Batang

7. Kanjeng Raden Tumenggung Hadinegoro, Bupati Kaliwungu dan Demak

8. Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiwiryo, Bupati Kaliwungu

9. Raden Tumenggung Reksonegoro

10. Kanjeng Raden Tumenggung Hadinegoro, Bupati Demak dan para Dzuriahnya.

Sedangkan bagian tengah yang menyerupai bagian dada burung merupakan pusara dari pada :

1. Kanjeng Sunan Kathong

2. Raden Tumenggung Notohamijoyo, Bupati Kendal

3. Raden Tumenggung Notohamiprojo, Bupati Kendal

4. Raden Mas Arinotoprojo, Bupati Kendal

5. Raden Mas Notonagoro, Bupati Kendal dan makam para Dzuriahnya.

Bagian kiri yang menyerupai sayap kiri maka terdapat makam :

1. Raden Tumenggung Mandurarejo, Bupati Pekalongan

2. Kyai Asy’ari atau Kyai Guru

3. Kyai Puger atau Kyai Pakpak atau Kyai Papak, 

Bagian sayap kanan terdapat nisan para ulama yaitu :

1. Kyai Haji Rukyatullah

2. Kyai Haji (wali) Musyafak

3. Kyai Haji Musthofa

4. Kyai Haji Abu Choir 64

5. Drs. H. Djoemadi, Bupati Kendal ke 36 dll 

Sedangkan bagian timur yang menyerupai ekor burung maka terdapat pusara makam Empu Pakuwaja atau Pangeran Pakuwaja.

Dengan bertabaruk ziaroh ke makam para ulama Nusantara khususnya ke makam Kanjeng Sunan Kathong di Astana Kuntul Nglayang maka akan mengingatkan bahwa kita pasti akan kembali ke asalnya hal ini sebagai salah satu cara untuk lebih meningkatkan Iman dan Taqwa kita kepada Allah SWT.

Selain dari pada itu dengan sambang sambung ziaroh dengan datang langsung ke Astana Kuntul Nglayang yang lenskapnya menyerupai burung terbang maka sekurang kurangnya dapat meningkatkan kecintaan kita pada bangsa dan negara karena bagi Indonesia burung Garuda adalah simbol kekuatan bangsa karenanya burung Garuda dijadikan lambang negara Indoneasia hingga saat ini.

Denah Astana Kuntul Nglayang yang menyerupai burung terbang diangkasa adalah perlambang atau isyaroh tentang filosofi burung yang diidentikan dengan simbol kebebasan karena mampu terbang ke manapun yang dia mau selanjutnya kita bisa juga belajar dari filosofi burung yang bisa terbang seperti halnya burung merpati putih yang menjadi sebuah simbol kesucian dan kesetiaan dalam hal ini kita harus mempertahankan tauhid dengan menghindari segala kesyirikan seperti merpati selalu setia pada pasangannya tiada mendua atau menyekutukan.

Tata letak Astana Kuntul Nglayang juga mengajak kita untuk belajar meningkatkan kualitas diri seperti burung elang, karena elang merupakan hewan karnivora yang memiliki pandangan yang tajam, bahkan kecepatan terbangnya bisa mencapa 300 Km/jam. Saat elang akan membidik mangsanya, dia akan sangat fokus dan berhati-hati hingga mangsa pasti dapat diterkam secara akurat, hal ini memberi pelajaran bagi kita dalam meraih cita cita maka harus fokus untuk disiplin dan kerja keras.

Denah Astana Kuntul Nglayang telah memberi pelajaran bagi kita untuk menjadi bijaksana seperti burung hantu karena menurut sifatnya yang penuh misteri dan tak banyak berkicau menandakan sebuah sifat bijaksana, yaitu lebih mengutamakan untuk mendengar dari pada banyak bicara. Bukankah mendengarkan adalah komunikasi terbaik bagi manusia? Tak banyak orang yang memiliki kemampuan ini.

Astana Kuntul Nglayang telah mengingatkan kita agar jangan tong kosong berbunyi nyaring, jangan menjadi seperti burung beo yang bisa bicara menirukan orang namun sama sekali tidak memahami apa yang dikatakannya, karena burung beo hanya mengikuti apa yang dikatakan pelatihnya saja, hal inilah yang menjadi pelajaran penting bagi kita sebagai manusia. Kita tak boleh menjadi manusia yang hanya pandai berkata - kata tanpa memahami apa isinya dan hanya bermodalkan penampilan saja, karena orang akan menilai kita bukan berdasarkan apa yang kita bicarakan tapi apa yang kita lakukan.

Astana Kuntul Nglayang telah menampar kesadaran kita untuk belajar tentang rahasia rezeki dari burung bughats atau anak burung gagak yang baru menetas karena burung Bughats terlahir tanpa bulu dan kulitnya berwarna putih, sedangkan induknya berbulu hitam, sehingga saat pertama kali menyaksikannya tidak akan mengakui anaknya tersebut dan hanya menyaksikan dari kejauhan, akibatnya Bughats yang masih lemah itu tidak mendapatkan makanan dan minuman dari induknya, meskipun tampaknya anak burung tersebut bernasib malang, namun Allah SWT Maha Adil karena dari tubuh Bughats tersebut keluar aroma bau yang mampu memancing serangga untuk datang kepadanya, sehingga  serangga- serangga itulah yang menjadi makanan Bughats hingga nanti tumbuh bulu-bulu hitam di tubuhnya.Setelah itu induk gagak mulai mengenali bahwa dia merupakan anaknya sehingga memberikannya makanan sampai mampu terbang sendiri untuk mencari makanan. 

Pelajaran dari Bughats ini sangatlah luar biasa karena mengajarkan kita untuk tetap yakin jika Allah SWT telah memberikan rizki-Nya masing-masing kepada setiap manusia, meskipun tampaknya kita berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan, namun yakinlah bahwa kita juga diberikan sebuah potensi untuk menarik rezeki layaknya Bughats yang mampu menarik serangga untuk datang kepadanya.

Berziaroh ke Makam Sunan Kathong di Astana Kuntul Nglayang seperti telaga yang akan menyediakan air jernih untuk dapat kita teguk guna menyirami kekeringan rohani kita sebagai manusia yang bebal.

------------------------------------------------------------------

Lahawa Fatihah

Semoga bermanfaat

Wallahu a'lam bish-shawabi

Allah Mahatahu yang benar/yang sebenarnya.

----------------------------------------------------------------

* Disari dari berbagai sumber bacaan dan cerita run temurun dan wawancara mendalam dengan juru kunci makam maupun penduduk sekitar Astana Kuntul Nglayang di Desa Protomulyo, Kec. Kaliwungu, Kab. Kendal Jawa Tengah.

----------------------------------------------------------------

*@ Penulis adalah anggota NU yang sehari hari tinggal di desa .

#Penulis memohon maaf apabila dalam penulisan ini terdapat kekhilafan yang akan menimbulkan polemik berfikir, namun demikian hal ini adalah iktiar untuk menyusun kisah kisah yang belum terungkap

--------------------------------------------------------------------------

Kaliwungu Kendal 11/11/21

0 Komentar

close