HARIANMERDEKA.ID| Manado –
Belakangan ramai diberitakan tentang permasalahan tanah di Desa Kalasey II,
Minahasa, Sulawesi Utara, yang dipicu oleh adanya tindakan tidak professional
dan bernuansa kekerasan oleh aparat terhadap para petani penggarap tanah
pertanian di wilayah itu. Terkini, kuasa hukum para petani Desa Kalasey
melaporkan beberapa oknum polisi yang diduga kuat melakukan tindakan kekerasan
terhadap warga ke Bidpropam Polda Sulawesi Utara.
Terkait
dengan persoalan konflik agraria tersebut, tokoh masyarakat Sulawesi Utara,
Irjenpol (Purn) Dr. Ronny F. Sompie, S.H., M.H., turut angkat bicara. Mantan
Kapolda Bali tersebut mengatakan bahwa dirinya sangat prihatin dan menyayangkan
terjadinya gesekan antara penegak hukum dengan para petani Desa Kalasey. Dia
berharap semua pihak bisa menahan diri dan mencari solusi terbaik dalam
penyelesaian masalah dengan tidak merugikan masyarakat.
“Peristiwa
polisi versus rakyat bisa terjadi dimana saja, termasuk di berbagai negara
lain. Dasar hukum bagi polisi untuk melakukan penertiban di masyarakat ada,
yaitu Undang-Undang. Ketika permasalahan utamanya berkaitan dengan lahan
pertanian, perlu ditelusuri kepemilikannya. Kepemilikan atas tanah tersebut
menjadi dasarnya,” jelas Ronny Sompie kepada media ini, Minggu, 28 Mei 2023.
Berkenaan
dengan tugas pokok dan fungsi aparat penegak hukum dalam persoalan eksekusi
lahan atau sesuatu obyek yang harus dilakukan oleh pengadilan, Polri wajib
melakukan tugasnya menjaga dan mengamankan pelaksanaan eksekusi itu. “Kalau
sudah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, maka Polri harus
melakukan tugas dan fungsi penjagaan dan pengamanan Panitera Pengadilan yang
melaksanakan eksekusi atas putusan hakim,” imbuh mantan Kadivhumas Polri ini.
Terkait
dengan lahan pertanian yang dipersengketakan di Desa Kalasey II itu, Ronny
Sompie berpendapat bahwa peran Pemerintah Daerah harus nyata dalam membantu
mencari solusi terbaik bagi warga masyarakat yang terdampak oleh persoalan
tersebut. “Kalau berkaitan dengan lahan pertanian rakyat, ini memerlukan bantuan
dan dukungan Pemda setempat. Yang harus dipertanyakan apakah Pemerintah Daerah
telah mengakomodasi keluhan warga dan memberikan solusi atas permasalahan yang
dihadapi oleh rakyat,” ucapnya mempertanyakan peran Pemerintah Daerah Kabupaten
Minahasa dan Pemprov Sulut dalam membantu menyelesaikan persoalan warganya.
Bagi Ronny
Sompie, semestinya ada upaya evaluasi atas pemanfaatan lahan untuk pertanian
yang dikelola oleh warga di lokasi tersebut. Perlu dipertimbangkan seberapa
besar kontribusi hasil pertanian yang selama ini diperoleh rakyat dari lahan
tersebut. “Melalui kajian semacam ini memungkinkan kita untuk bisa menemukan
titik penyelesaian damai yang berkelanjutan dan tuntas bagi rakyat, juga bagi
Pemda setempat,” terang Ketua Dewan Pembina Kerukunan Keluarga Kawanua itu.
Dari
pengalamannya, kata Ronny Sompie, melalui pola-pola penanganan masalah yang
baik dan persuasif, bentrok aparat dengan rakyat bisa dihindari. “Berdasarkan
pengalaman saya sebagai Kapolwiltabes Surabaya menertibkan bangunan liar dan
ilegal tanpa izin di bantaran kali Surabaya, mulai dari Wonokromo ke arah
jembatan Nginden pada tahun 2009, bisa selesai tanpa harus bentrok antara Polri
dengan massa rakyat. Kunci penyelesaian sebenarnya bahwa Pemerintah harus
memperhatikan kepentingan rakyat dan membantu mencari solusi yang cerdas dan
menyelesaikannya secara tuntas tanpa transaksional,” beber lulusan doktor di
bidang hukum ini.
Sepengetahuannya,
lanjut Ronny Sompie, lokasi tanah yang dipersoalkan saat ini adalah lahan ex
HGU PT Asiatik seluas 225 hektar. Tahun 1982 ijin HGU perusahaan berakhir.
Pekerja kebun perusahaan Asiatik ini yang kemudian terus mengelola perkebunan
di lahan Kalasey sampai sekarang, bahkan dilanjutkan oleh anak cucu mereka. 33
hektar tanah HGU itu diberikan kepada beberapa institusi negara. Tahun 2021
Pemprov Sulut menghibahkan lahan seluas 20 hektar kepada Kemenparekraf yang
kini jadi sengketa.
Dari akar
permulaan persoalan itu, Ronny Sompie cukup menyesalkan adanya hibah lahan yang
sedang dalam penggarapan masyarakat tersebut kepada pihak lain. “Ini yang
dipermasalahkan adalah, di saat pandemi, saat masyarakat berjuang
mempertahankan hidup dari ancaman Covid-19 dan pemerintah menghimbau masyarakat
untuk berkebun demi menjaga keberlangsungan hidup, di satu pihak kebijakan
Pemerintah Sulut justru sangat-sangat merugikan masyarakat yang sudah puluhan
tahun mengelola lahan tersebut untuk berkebun,” ungkap mantan Direktur Jenderal
Imigrasi ini.
Sementara
di tempat lain, lanjutnya, Presiden Joko Widodo bahkan bisa membuat sertifikat
di lahan HGU untuk dikelola masyarakat buat berkebun. “Tapi di Sulut, khusus di
lahan 20 hektar kebun warga (Desa Kalasey II), justru digusur,” ucap mantan
Polisi bintang dua itu menyesalkan.
Lebih jauh
Ronny Sompie mempertanyakan kebijakan Pemerintah Provinsi Sulut yang terkesan
setengah hati membantu masyarakatnya. “Pemprov Sulut pernah mengeluarkan
sertifikat di lahan HGU untuk pemukiman warga di Kalasey. Anehnya, mengapa
untuk lahan perkebunan, Pemprov menolak untuk memberikan sertifikat bagi warga
Kalasey? Sebuah kontradiktif yang terjadi dan di luar asas keadilan bagi
masyarakat dalam mengurangi ketimpangan pangan melalui perkebunan bahan makanan
bagi warga masyarakat,” beber tokoh masyarakat Sulut yang maju sebagai calon
anggota DPR RI dari dapil Sulut pada Pemilu 2024 mendatang.
Sebagai
usulan kongkrit, Ronny Sompie menyarankan agar Pemprov Sulawesi Utara bersama
Kementerian Agraria dan Kepala BPN, juga Menteri Pertanian di Pusat, dapat
lebih serius lagi memikirkan kepentingan rakyat. “Sebenarnya Pak Gubernur Sulut
telah memikirkan kepentingan rakyat ketika beliau memberikan sertifikat kepada
282 warga di Kalasey untuk keperluan pemukiman. Seyogyanya Pemerintah juga
memberikan sertifikat bagi rakyat yang akan mengerjakan perkebunan untuk
memperbaiki keperluan pangan rakyat sebagaimana yang telah dilakukan mereka
sejak tahun 1980-an,” pungkas putra kebanggaan warga kawanua yang dianugerahi
Bintang Jasa Utama pada 15 Agustus tahun 2019 oleh Presiden Joko Widodo di
Istana Negara itu. (APL/Red)
0 Komentar