Kasus Faisal Membuka Pintu Lebar-lebar Dugaan Sarang Mafia Hukum Polda Metro Jaya yang Menyeret Nama Kapolda Hingga Eks Napi Korupsi Fahd A Rafiq



HARIANMERDEKA.ID| Jakarta – Aroma busuk praktik mafia hukum yang menyeruak dari tubuh Polda Metro Jaya bukan lagi sekadar bisik-bisik di lorong gelap. Kasus dugaan kriminalisasi terhadap seorang warga Aceh, Faisal bin (Alm) Hartono, menyeret nama-nama besar dan menyingkap jaringan kekuasaan yang melibatkan aparat berseragam coklat hingga tokoh politik yang punya rekam jejak kelam: Fahd A Rafiq, mantan narapidana kasus korupsi pengadaan Alquran dan proyek infrastruktur.

 

Dalam kasus ini, Faisal ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh penyidik Polda Metro Jaya, diduga tanpa proses hukum yang sah dan transparan. Yang mengejutkan, proses tersebut diduga terjadi atas tekanan langsung dari Fahd A Rafiq, yang menurut pengacara Faisal, Irwansyah, S.H., menghubungi penyidik secara langsung dan memberi perintah eksplisit untuk segera menetapkan Faisal sebagai tersangka.

 

“Penyidik menerima perintah melalui telepon dari Fahd, bahkan dalam mode loudspeaker agar kami semua bisa mendengar. Dia bilang, ‘Tangkap saja Faisal, masukkan sel bersama pencuri ayam,’” beber Irwansyah dalam pernyataannya, Minggu, 13 April 2025.

 

Lebih memprihatinkan, tekanan terhadap penyidik bukan hanya datang dari Fahd. Ajudan Kapolda Metro Jaya dan sejumlah pejabat internal juga disebut aktif memantau dan mendesak agar Faisal segera ditahan. Nama Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, bahkan mencuat karena jajarannya dianggap turut memfasilitasi proses hukum yang cacat prosedur tersebut.

 

Advokat Iskandar Munthe, S.H., M.H., menegaskan bahwa mereka akan membawa perkara ini ke ranah pra-peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan turut menggugat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atas dugaan kelalaian pengawasan terhadap bawahannya.

 

“Kapolri harus ikut bertanggung jawab. Tidak bisa lagi pembiaran terhadap aparat yang menyalahgunakan kewenangan,” ujarnya tegas.

 

Keterlibatan Fahd A Rafiq, sosok yang pernah terjerat kasus korupsi kelas berat, menjadi indikasi bahwa praktik mafia hukum masih leluasa bermain di institusi penegak hukum. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam: sejauh mana kekuatan modal dan jaringan politik dapat mengatur proses hukum di negeri ini?

 

Dalam sistem yang ideal, hukum adalah panglima. Namun dalam kasus ini, hukum justru dijadikan alat balas dendam dan pengaman kepentingan pribadi, sebuah kemunduran serius bagi cita-cita reformasi Polri dan penegakan hukum.

 

Tim hukum Faisal – terdiri dari sedikitnya sepuluh advokat termasuk purnawirawan jenderal polisi – menyatakan tekadnya untuk membongkar skandal ini melalui jalur konstitusional. Tak hanya menggugat secara perdata, mereka juga akan melapor ke Divpropam, Kompolnas, Ombudsman, hingga Presiden RI.

 

Pernyataan mereka senada dengan pesan Presiden Prabowo Subianto yang berulang kali menegaskan pentingnya reformasi institusi hukum: “Negara akan hancur jika aparat hukumnya bobrok.”

 

Kini, semua mata tertuju ke PN Jakarta Selatan, tempat praperadilan akan menjadi panggung bagi fakta-fakta yang mungkin akan membuka banyak borok lama di tubuh kepolisian, khususnya di Mapolda Metro Jaya.

 

Kasus Faisal bukan hanya tentang satu individu yang dituduh secara sewenang-wenang. Ini tentang sistem, integritas, dan akuntabilitas institusi. Bila benar Mapolda Metro Jaya menjadi “sarang mafia hukum”, maka ini adalah ujian besar bagi Kapolri, Presiden, dan rakyat Indonesia – apakah kita masih punya nyali melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh aparat sendiri?

 

Simak duduk perkara kasus ini melalui pemberitaan sebelumnya, silahkan diklik: https://www.globalindonews.com/mantan-narapidana-korupsi-alquran-fahd-a-rafiq-terlibat-mafia-hukum-nama-kapolda-metro-jaya-karyoto-mencuat/ dan klik disini: https://citizzenjournalists.com/alumni-lemhannas-desak-kapolri-periksa-kapolda-metro-jaya-diduga-terlibat-dalam-skandal-pertamax-oplosan-dan-mafia-hukum-bersama-fahd-a-rafiq/kabar-utama/2024/46/00/23/13/04/2025/.

 

Menanggapi kasus dugaan kriminalisasi Faisal bin (alm) Hartono dan dugaan keterlibatan aparat Polda Metro Jaya dalam praktik mafia hukum, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., angkat suara. Sebagai Alumni Lemhannas RI PPRA 48 tahun 2012, ia menyatakan bahwa persoalan ini adalah fenomena gunung es dari bobroknya penegakan hukum di Indonesia.

 

 “Apa yang dialami Faisal bukan kasus tunggal. Sudah terlalu banyak warga yang dikriminalisasi oleh aparat demi kepentingan pribadi dan kelompok. Hukum kita bukan lagi alat keadilan, tapi sudah menjadi alat pemerasan,” tegas Wilson kepada media ini, Senin (14/4/2025).

 

Menurutnya, keterlibatan eks napi korupsi seperti Fahd A Rafiq dalam mempengaruhi aparat penegak hukum menunjukkan bahwa sistem kita telah dikuasai oleh sindikat kekuasaan yang tidak takut pada hukum itu sendiri. Ia pun mendukung penuh langkah tim hukum Faisal untuk membawa perkara ini ke pengadilan dan membuka tabir mafia hukum yang selama ini disembunyikan.

 

 “Kapolda Metro Jaya, Kapolri, dan semua yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban. Kalau tidak, kita akan terus hidup di negara yang aparat hukumnya lebih jahat dari penjahatnya,” ujar Wilson lantang.

 

Lebih jauh, Wilson menyarankan agar Presiden Prabowo membentuk Tim Independen Pemberantasan Mafia Hukum, yang terdiri dari unsur masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh pers nasional untuk melakukan audit menyeluruh terhadap institusi Polri.

 

 “Kalau Presiden serius mau membenahi Polri, ini momen yang pas. Bongkar tuntas, jangan tutupi! Dan jangan cuma berhenti di Polda Metro Jaya. Seluruh institusi hukum harus diperiksa,” tegas Wilson. (SAD/Red) 


0 Komentar

close