HARIANMERDEKA.ID Jakarta –
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan bahwa aparat penegak
hukum, yakni Polri (Penyidik), Kejaksaan (JPU), dan Pengadilan (Majelis Hakim
PN, PT, dan MA) telah melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam
menangani kasus dugaan tindak pidana (illegal logging, penyelundupan BBM, dan
pencucian uang) dengan tersangka/terdakwa/terpidana Aiptu Labora Sitorus
(Lk/64). Komnas HAM juga menyatakan bahwa penegak hukum telah mengabaikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia di kasus tersebut.
Penegasan
dan pernyataan Komnas HAM ini tertuang dalam dokumen Hasil Eksaminasi (analisis
dan penilaian) yang diterbitkan pada Desember 2015 lalu atas kasus yang
melibatkan anggota Polisi dari Polres Raja Ampat, Papua Barat itu. Majelis
Eksaminasi yang terdiri atas 6 orang ahli hukum diketuai Prof. Dr. I Nyoman
Nurjaya, S.H., M.H., dibentuk khusus oleh Komnas HAM untuk melakukan tugas
eksaminasi, analisis dan penilaian, atas kasus kontroversial tersebut.
Negara
Lakukan Tindak Pidana
Komnas HAM
menilai bahwa dalam kasus yang menjadi perhatian publik di tahun 2012-2014 itu,
penegak hukum telah melakukan kesalahan fatal dalam menentukan subyek hukum
yang dijadikan tersangka oleh Polri, yang kemudian didudukkan sebagai terdakwa
oleh Kejaksaan, dan diputus pidana oleh Pengadilan, alias terjadi error in
persona. Oleh sebab itu, dalam kasus ini Komnas HAM menyatakan bahwa Negara
Indonesia telah melakukan tindak pidana (state crime) terhadap warga negaranya
bernama Labora Sitorus.
"Kesalahan
penegak hukum, mulai dari Polisi sebagai penyidik, Jaksa sebagai penuntut umum,
dan kemudian Hakim yang memeriksa, mengadili, dan membuat Putusan yang
mempidana Labora Sitorus karena 'error in persona' adalah tindak pidana yang
dalam kriminologi disebut sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh Negara
(State Crime), yang melanggar hak asasi Labora Sitorus sebagai warga negara
Indonesia." Demikian pernyataan Komnas HAM sebagaimana dikutip dari
dokumen Hasil Eksaminasi dimaksud.
Pada poin
ke-7 dari tujuh poin kesimpulannya, Komnas HAM menegaskan bahwa putusan
pengadilan yang menjatuhkan vonis bersalah dan menghukum Labora Sitorus dengan
15 tahun kurugan penjara harus batal demi hukum. "Di dalam pertimbangan
hukum yang termuat pada amar Putusan (kasasi) MA No. 1081 K/PID.SUS/2014
sekadar mencocokkan dengan ketentuan Pasal 197 KUHAP maka putusan tersebut
dapat dinyatakan batal demi hukum," tulis Komans HAM dalam kesimpulannya.
Rekomendasi
Komnas HAM
Berdasarkan
hasil analisis dan kesimpulan-kesimpulan di atas, agar penegak hukum dapat
melaksanakan tugas dan wewenangnya secara proporsional dan profesional, dan
demi tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan atas jaminan perlindungan
Hak Asasi Manusia, maka Komnas HAM mengeluarkan tiga butir rekomendasi.
Pertama, mengingatkan dan atau menyampaikan himbauan agar penegak hukum
melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta wewenangnya secara proporsional dan
profesional, setidaknya sesuai dengan kewenangan atributif yang telah diatur
dalam aturan perundangan, yakni Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan
undang-undang lain yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan
tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, seperti Undang-Undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, KUHP, dan KUHAP.
Kedua,
mensosialisasikan dan mempublikasikan hasil eksaminasi Komnas HAM ini melalui
sarana media massa maupun media sosial yang berskala regional dan nasional
untuk diketahui dan dipahami, baik oleh penegak hukum maupun masyarakat luas.
Hal ini penting untuk dijadikan pertimbangan agar tidak diulang dan dilakukan
kembali, terutama demi menghormati dan memberikan jaminan perlindungan Hak
Asasi Manusia, khususnya dalam melakukan pembangunan hukum yang berorinetasi
pada kebenaran, keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan hukum, serta
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Ketiga,
secara formal, Labora Sitorus sebagai korban kesewenang-wenangan aparat penegak
hukum didorong untuk melakukan, dan dengan segera digunakan, upaya hukum yang
masih tersisa dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yaitu
upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Komnas HAM berharap
hasil eksaminasi ini dapat memberikan manfaat bagi perbaikan sistem peradilan
di Indonesia, secara khusus berguna bagi percepatan penuntasan perkara Labora
Sitorus.
Harapan
Publik
Pertanyaan
yang menggantung di benak publik kemudian adalah siapa aktor di belakang proses
kriminalisasi Aiptu Labora Sitorus? Sebagai pintu pertama dari sebuah proses
hukum pidana di Indonesia, mata rakyat tertuju kepada Pimpinan Polri saat itu
sebagai terduga promotor utama dalam tindak kejahatan negara (state crime)
terhadap warga negara, Labora Sitorus.
0 Komentar